Prolog

58 8 2
                                    

Ibu selalu melarangku bermain di kebun belakang rumah. Dia selalu berkata, "Bahaya, ada banyak hewan liar disana, nanti kamu terluka." Padahal mereka sangat baik kepadaku.

Karena itu setiap ibu dan ayah bekerja, aku selalu diam-diam pergi ke kebun belakang rumah. Bermain dengan semua temanku.

"Aku tidak suka ibu!" Aku mengeluh pada pohon tua yang aku sandari.

"Manusia besar tidak bisa berbicara denganku. Manusia besar bisa saja khawatir karena tidak tahu." Pohon tua itu menjawab. Dia sudah seperti sosok kakek tua bijak yang menasehati cucuknya yang merajuk.

Perkataannya menjadi sumbu atas pikiran logikaku. Aku sedikit mengerti perasaan ibu saat itu. Kuharap pohon tua bisa menjadi sumbu abadi yang menolongku dimasa depan.

Namun ternyata itu hanya angan-angan belaka.

Aku terdiam menatap kebun yang awalnya subur menjadi gundul dan tandus. Aku bahkan tidak bisa mengeluarkan air mata, karena semua temanku pun tidak meraung atau menghamba atas perlakuan tidak adil manusia.

Proyek pembagunan dilakukan disana. Semua temanku mati, ada yang terusir tidak punya rumah entah pergi kemana.

Pohon tua yang kuharap ada disisiku selamanya itu tampak tidak sesubur dulu. Hanya dia satu-satunya pohon yang masih berdiri tegak, menunggu untuk ditebang. Disekelilingnya banyak alat berat yang dikerahkan supaya proyek berjalan lebih cepat.

"Bahaya, besi itu terlalu berat, tanah tempat akar-akarku berada mulai melonggar." Pohon itu berbicara padaku, memperingatkan.

"Diam." Aku bergumam pelan penuh amarah.

"Bahaya, besi itu terlalu berat, tanah tempat akar-akarku berada mulai melonggar." Pohon itu terus mengulangi perkataan yang sama. Berharap kata-katanya tersampaikan pada semua manusia yang ada disana.

"Diam!" Aku berteriak, menutup kedua telingaku. Berharap tidak mendengarnya.

Setelah itu seketika tanah mulai runtuh. Longsor terjadi menyebabkan banyak alat berat terperosok. Banyak nyawa yang melayang. Aku melihat semua kejadian itu dengan mata telanjang, tidak berkedip sedikitpun.

"Manusia sudah menyatu dengan tanah. Kenapa tidak diberitahu?" Nada bicara pohon tua itu tetap sama.

"Berisik!"

"Kenapa tidak diberitahu?"

"Aku benci pohon tua!" Aku berteriak sekencang yang aku bisa. Lalu memutar balik, berlari kembali ke rumahku.

Sejak saat itu aku tidak pernah kembali kesana. Saat perumahan baru dibangun, aku tidak pernah lagi memeriksa apakah pohon tua itu masih hidup atau tidak.

Keluarga kami pun pindah ke kota.

My Universe || CravityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang