Prolog:

1.6K 133 5
                                    


Arantxa terburu- buru mengemasi barang- barangnya. Dengan perasaan kalut, ia mondar- mandir di kamar apartemen yang ia sewa bersama Mikaela-- El-- dan juga Yvonne.

Barusan, ia mendapatkan kabar dari kakak sulungnya bahwa ayah mereka anfal dan sudah dibawa ke rumah sakit terbaik  di Surabaya. Ayah sudah lama menderita penyakit jantung, dan ini adalah serangan keduanya.

"Kamu yakin nggak mau aku teleponin kakakku. Kebetulan dia lagi ada di sini," Ella yang sejak tadi duduk di atas ottoman di dalam kamar Ara berujar mengusulkan.

"Nggaklah, El. Aku nggak mau bikin repot Kak Ganesha." Ujarnya, sambil mondar- mandir antara lemari buku dan  koper yang terhampar di lantai kamar. "Kayaknya agenda dia di sini banyak banget tuh! Sampai- sampai, waktu aku nelepon ke hotelnya kemarin, yang jawab cewek!"

"Habis kamu dideketin susah amat!" Ella yang kalem masih berusaha untuk membela kakaknya. "Lagi pula, yang ini bukan Mas Ganesha, kok. Ini kakak sulungku. Mas Nara namanya. Dia baru kelar ambil doktor di Brown. Rencananya mau mampir sebelum balik ke Jakarta dan dikungkung di kerajaan Rembaka!"

Ara hanya menggeleng sambil nyengir. Begini memang kalau punya teman seapartemen yang tajir melintir minta ampun. Menceritakan tentang perusahaan besar seolah- olah hal itu bukan sesuatu yang penting.

Sebelum melanjutkan kuliah ke Melbourne, tentu saja Ara tidak familier dengan keluarga Rembaka, meski ia sudah berteman dengan Ella sejak di bangku SMA. Namun ketika melihat barang- barang  keluaran butik desainer yang dengan entengnya menempel di tubuh Ella, gadis itu baru tergerak untuk mencari tahu.

Seperti kebanyakan kaum konglomerat, mereka begitu tertutup perkara keluarga mereka. Begitu pun dengan Ella yang pada awalnya tidak pernah mengatakan bahwa dirinya adalah cucu dari Prijagoeng Adji Rembaka, pendiri pabrik rokok, pabrik minyak kelapa sawit sekaligus perkebunannya, juga bisnis pertambangan dan jaringan kabel bawah laut. Mereka juga punya perkebunan tembakau di Temanggung dan Bojonegoro.

Namun semuanya itu tidak lantas membuat Ella tumbuh  menjadi pribadi yang sombong. Justru dia yang paling down to earth di antara mereka bertiga.

"Yvonne ke mana?"

"Ke rumah temannya kalau nggak salah sih. Mau latihan atau apa gitu katanya tadi."

"Pasti kalau nggak latihan nyanyi, ya palingan  ngebuntutin si Jamie tuh anak. Heran. Kok nggak ada kapok- kapoknya dia." Jamie adalah sahabat Arkana, pacar Arantxa sejak SMA. Setiap mengunjungi Arantxa baik ketika di kampus atau di apartemen, Arkana selalu mengajak Jamie. Dan kalau ada Jamie, Yvonne pasti ogah disuruh minggir dari sofa ruang tengah tempat Jamie biasanya menunggu Arkana yang lagi ngapelin Aranxa. Sementara Ella sendiri lebih suka membaca buku di kamar bila Arkana dan Jamie bertamu. Gadis itu memang cukup pemalu. Apalagi dengan lawan jenis yang tidak begitu dekat. Padahal, Arkana juga dulunya satu sekolah dengan mereka hanya bebeda kelas.

Akan tetapi, belakangan, dia sudah cukup akrab dengan Jamie dan Arkana. Sehingga ketika kedua lelaki itu muncul di apartemen, Ella tidak canggung lagi bergabung.

"Yvonne mah emang gitu kali. Dan hal itu juga yang nyenengin dari dia kan? Kalo dia terlalu serius, bisa- bisa kita bertiga di sini bakalan ribut melulu." Kilah Ella kalem.

"Eh, kamu nggak hubungin si Arkana?"

Arantxa menegakkan tubuhnya setelah memastikan kopernya tertata rapi dan tertutup rapat. "Ini aku mau hubungin. Belakangan dia sibuk part time bantuin proyek kakak tingkat." Arantxa sambil mengotak- atik ponselnya. Mencoba menghubungi Erlangga Arkana Prawiranegara.  Lelaki yang sudah hampir lima tahun ini menjadi kekasihnya.

"Nggak diangkat." Arantxa mulai senewen. "Apa dia lagi ribet ya?" Arantxa seolah- olah berbicara pada ponselnya sendiri. El memperhatikan sahabatnya dengan mimik serius. Pertanda ia ikut berpikir untuk memberikan solusi pada Arantxa yang sepertinya sudah kehilangan ketenangan seperti biasanya.

"Pesawat kamu jam berapa?"

Arantxa melirik arloji di pergelangan tangan. "Tiga jam lagi."

"Kayaknya nggak akan sempat kalau kamu nggak buru- buru sekarang deh, Ra." Ella akhirnya berkata. "Mending kamu telepon pas udah sampai di airport."

Arantxa mendesah kecewa. Wajahnya cemberut. Merasa tak puas dengan keadaannya saat ini. "Apa boleh buat." Gadis itu mengangkat bahu. Ia  akhirnya memutuskan untuk menelepon Arkana dari bandara saja.

Namun, hingga dirinya sampai di bandara, menelepon Arkana bukan lagi jadi prioritas utamanya. Karena Ariadhana , kakaknya terus menerus menelepon untuk menanyakan kapan kira- kira Arantxa sampai di Indonesia.

****

In Between Where stories live. Discover now