Sepuluh

882 113 11
                                    


"Tolong  saya nggak mengundang kamu masuk!"

"Tapi saya berhak masuk." Ujar Rayan keras kepala. " Saya nolongin kamu, ingat?"

"Well, thanks. "  Arantxa melipat kedua tangannya di dada.

"Maka dari itu, izinkan saya masuk. "

"Saya  nggak minta diselamatkan!" Arantxa mendesis  menahan teriakannya. Selain karena tidak mau menjadikan dirinya tontonan, wanita itu juga tidak mau dicap sebagai wanita bar-bar.

Meneriaki seorang lelaki pada malam hari di depan pintu unitnya akan membuat para tetangganya terganggu. Dan itu adalah hal terakhir yang diinginkannya.

Rayan tetap bergeming di depan pintu.

"Saya bahkan nggak tahu apa tujun kamu deketin saya." Arantxa melambaikan tangan ke sembarang arah. Dia tidak tahu lagi bagaimana caranya menghalau lelaki itu supaya menjauh darinya.

"Saya hanya ingin mengenalmu lebih dekat lagi."

Arantxa kembali bersedekap. Ia berdiri dengan posisi agak miring. Dia sendiri bertanya-tanya, mengapa menghabiskan waktunya untuk meladeni lelaki tidak jelas ini? Siapa yang tahu kalau ternyata lelaki yang kelihatannya tajir, menawan dalam balutan Ermenegildo Zegna itu ternyata adalah seorang human trafficking? Mengincarnya untuk  tujuan tidak baik.

Mungkin juga sebenarnya dia punya usaha penyaluran tenaga kerja wanita ke negara-negara seperti Malaysia, Hong Kong, Taiwan atau Saudi Arabia. Bukan sebagai buruh, akan tetapi untuk diperjualbelikan.

Dewasa ini banyak orang yang berpenampilan menipu. Jangan- jangan lelaki ini juga mau mencari perempuan yang akan dia salurkan ke tempat hiburan malam atau warung remang- remang di sepanjang jalur Pantura atau Jalur Lintas Sumatera.

Tiba-tiba saja Arantxa sudah bergidik ngeri. Ia kemudian memilih menegakkan tubuhnya. Berbalik dan masuk ke unitnya tanpa memedulikan keberadaan lelaki itu lagi.

Yah, Rayan memang tampan. Seperti pemeran kapten Kirk dalam film Star Trek alias Chris Pine. Tetapi Arantxa juga sering melihat lelaki tampan. Jadi  sebenarnya Rayan bukan sesuatu yang istimewa baginya.

Terlebih ketika masih berada di Australia. Kalau mau, dia bisa menggaet mantan dosennya. Turner, yang berusia 38 tahun dan punya mata sebiru laut Skandinavia. Jadi ia memutuskan bahwa dirinya tidak layak menghabiskan waktu istirahatnya hanya untuk meladeni lelaki ini.

Dia kemudian menempelkan kartu akses. Pintu unitnya terbuka. Namun ketika dirinya hendak menutup pintu, sepatu Rayan menghalangi. Arantxa kehilangan kesabarannya. Ia mendelik kemudian mendesis. "Ke. Lu. Ar!" bentaknya.

"Tidak."

"Atau saya  bakal telepon concierge!"

"Kamu mau bilang kalau saya melecehkanmu?"  sorot mata lelaki itu berubah geli. Dan Arantxa benci melihatnya. Terlihat jelas bahwa lelaki itu hanya ingin mempermainkannya.

"Demi Tuhan!" Arantxa benar-benar merasa gemas kali ini. Rasanya dia ingin meninju muka Rayan itu. Dia tidak peduli seandainya tindakannya itu akan dinilai sebagai perusakan terhadap karya seni ciptaan  Tuhan yang  paling menakjubkan karena wajah tampan Rayan pasti akan membuat para kaum hawa histeris. "Sebenarnya apa masalahmu?"

"Saya juga bisa menanyakan hal yang sama ke kamu." Balas lelaki itu. "Ngapain kamu sama lelaki tadi? Pergi ke mana kalian?"

Arantxa melengos. Dia tidak sudi menjawab pertanyaan yang ditanya dengan nada penuh curiga kepadanya itu. Memangnya dia siapa? Teman bukan. Saudara apalagi. Jadi apa haknya menanyakan hal pribadi semacam itu pada Arantxa?!

In Between Where stories live. Discover now