Delapan Belas

452 88 13
                                    

"Itu tadi Bu Monica?" Arantxa menaikkan alisnya. Begitu Monica melenggang pergi, tanpa menyambutnya  seperti biasanya.

Walau terkesan dingin, dulunya Monica kerap menyapa Arantxa dengan proper, mengingat ternyata harta yang berlimpah  tidak dapat membeli teman bagi anak perempuannya. Jadi hanya segelintir anak yang mau berinteraksi dengan El sejak masih Taman kanak-kanak. Pergaulannya terlalu dibatasi.

"Kamu udah makan? Maaf aku telat turun tadi," ujar Rayan. Ia langsung mendekat dan membelai rambut Ara. "Mau pesan atau naik ke lantai 21?"

"Terserah kamu." Ara menghempaskan tubuhnya di atas sofa kulit. Mengamati Rayan yang sepertinya sedang unmood siang itu. Lelaki itu kemudian menyusul duduk di samping Ara. "Kamu mau makan apa?"

"Terserah kamu aja."

"Biasa makan pedes?" Arantxa mengeluarkan ponselnya. Ia membuka aplikasi ojek daring dan memilih-milih menu makanan. "Nasi sama ayam kremes? Gado-gado?"

"Pakai sambal kacang?"

"Hmmm," Ara mengangguk. Rayan terus mengamatinya. "Kamu sendiri mau makan apa?"

"Aku pengin gado-gado, sih. "

"Samain aja deh. Tapi jangan pedes. "

"Bisa makan kacang?"

"Bisa sih," Rayan mengangkat alisnya. "Nggak apa-apa kalau kita nggak ke luar siang ini? Takutnya kamu bosan makan di kantor aku."

Arantxa selesai memesan dua gado-gado dan satu jus pepaya dan jeruk nipis. Ia kemudian meletakkan ponselnya di atas meja, lalu menghadap ke arah Rayan. "Kamu kayaknya lagi cape banget. Banyak kerjaan?"

Rayan hanya mengangkat bahunya. "Aku baru aja diangkat jadi direktur pemasaran. Banyak banget PR yang mesti aku benahin. Kamu sendiri gimana?"

Arantxa kemudian ikut menceritakan apa yang sedang dikerjakan oleh tim public relation untuk saat ini. Karena masih pertengahan tahun, banyak acara yang akan digelar oleh perusahaan. Misalnya acara lomba lari maraton yang diadakan oleh Paintlux dan acara tahunan ball Chronichle Building yang selalu diadakan setiap bulan kemerdekaan Indonesia.

Makanan yang dipesan oleh Ara kemudian sampai. Terry yang mengantar ke ruangan Rayan dengan agak canggung. Melihat ada seorang perempuan di ruangan bosnya bukanlah pemandangan yang lazim, kecuali yang datang adalah Bu Monica atau saudara perempuan Rayan, atau staf yang punya kepentingan. Selain itu, Rayan tidak pernah memasukkan perempuan ke ruangan pribadinya yang sakral tersebut.

"Jadi sekretaris kamu tetap Terry?" Ara memulai percakapan. Sembari mengambil suapan pertama gado-gado siram yang dipesan tadi. "Atau mau pakai Mbak Vonny?"

Vonny dulunya sekretaris Prihanandi, yang juga paman dari Rayan.

"Aku udah terlanjur cocok sama Terry. Lagi pula kemungkinan, Mbak Vonny ikut Om Pri ke perusahaan kayu itu. " Rayan kemudian menatap Ara lekat-lekat, menyipitkan matanya, lalu menaikkan sebelah alisnya dengan mimik jail. "Ini nggak akan ada drama kamu cemburu sama sekretaris, kan?"

"Apa?!" Ara tentu saja kaget. Dia bahkan langsung meletakkan piring ke atas meja sebelum menyambar air mineral dingin yang disiapkan Terry tadi. Ara memutar tutup botolnya tanpa peduli lagi pada Rayan yang tersenyum, melihat kekasihnya yang salah tingkah begitu.

Kesal, karena alih-alih membantu Arantxa , Rayan malah asyik menertawakan dirinya. Ara hanya menghadiahkan pelototan sebal.

"Kamu salah tingkah begitu," gumamnya di sela-sela tawa yang bergema, "aku lucu liatnya. "

"Terus aja ketawa kayak gitu!"

"Jangan marah dong, Ra..." Rayan sama sekali tidak mempedulikan makanannya. Ia malah menarik lengan Ara untuk mendekat ke padanya. Membuat wanita itu terjatuh dalam pelukan Rayan. Terdengar pekikan kecil. "Maaf, deh." Bisiknya seraya mengelus rambut Ara yang halus dan berkilau. Bahkan kulit tangan Rayan terkejut, ketika menyentuhnya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 20 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

In Between Where stories live. Discover now