Tujuh Belas

366 66 4
                                    

"Jadi sekarang lo makan siangnya di lantai atas?" Cacha menggoda. Tatapan matanya begitu menyelidik. Mencari tahu emosi yang berkelebat di sepasang mata sahabatnya itu.

Arantxa hanya bisa menundukkan kepala. Ia tidak mau isi hatinya bisa ditebak begitu saja. Terlebih oleh Cacha yang selalu sok tahu. Sahabatnya itu pasti akan meledeknya habis-habisan setelah ini.

Lagipula, masih terlalu dini menceritakan apa yang terjadi di antara dirinya dan Rayan.

Hubungannya dengan Rayan memang berubah. Dari yang tadinya saling seperti kucing dan tikus, kini menjadi agak reda tension nya. Rayan memang bukan tipikal lelaki yang akan membanjirinya dengan pesan-pesan remeh ala ABG. Atau bersikap manis sepanjang waktu, seperti mengingatkan makan, atau istirahat, dan sebagainya. Lelaki itu memilih untuk beraksi langsung. Ia lebih suka mendatangi Arantxa di apartemennya. Atau mengundangnya makan siang di ruangannya.

Hal itu tentu saja menimbulkan spekulasi dan bisik- bisik. Para biang gosip tentu saja berlomba-lomba untuk mencari informasi yang akan digoreng habis- habisan supaya gosip itu makin sedap dan panas. Di tengah tekanan pekerjaan yang membuat stres, tentu saja gosip panas tentang bos yang akhirnya mengencani salah satu karyawannya akan menarik minat.

Arantxa mulai mendengar selentingannya pagi ini. Dimulai ketika ia mengantre di Paradox Coffee. Empat orang yang tidak mengetahui keberadaan Arantxa di belakang mereka dengan heboh membahas tentang Chief Marketing Officer baru mereka ternyata sudah duluan digaet sama Putri Es.

Faktanya Arantxa tidak tersanjung dengan pujian itu. Dua mingguan setelah acara makan siang di apartemennya waktu itu, Rayan kerap mengirimkan makan siang sekaligus kopi dan camilan untuk Arantxa.

Yang mengantarkannya adalah Milah, pramubakti di lantai atas. Yang memerankan makanannya tentu saja Terry. Arantxa lumayan yakin, Lucas bukanlah tipikal lelaki yang mau repot-repot untuk mengurusi makan siang orang lain--- meski orang itu adalah target penaklukannya--- kalau dia punya staff yang bisa diminta untuk melakukan sesuatu seperti membuat seorang wanita terkesan.

Arantxa sudah belajar banyak tentang hal itu. Dan bodoh kalau dia harus mengambil hati. Lelaki di mana saja pasti sama. Apalagi yang punya kekuasaan seperti Rayan. Mereka tidak akan sudi mengotori tangan sendiri.

"Jadi lo officially dong sekarang. Calon Nyonya Rembaka. Pasti keren banget gue punya temen istrinya keturunan konglomerat!" cetus Cacha. Ia mungkin hanya menggoda. Tapi hal itu tak pelak membuat Arantxa agak kesal.

"Lo lupa siapa Ariadhana Astha Gunawangsa?" Arantxa bertanya dengan mimik pongah. Ekspresi Cacha langsung kecut.

Menyinggung soal konglomerat di depan adik dari pewaris villa, hotel, perkebunan, dan sejumlah tanah yang tersebar di Malang, Batu, dan Tretes memang salah besar.

Cacha mengangguk- angguk. Matanya menyipit miris. "Gue lupa kalo elo masih adiknya Mas Ariadhana," cibirnya. Kedua tangannya bersedekap. Kepalanya miring. "Jadi seharusnya lo nggak perlu repot-repot untuk jadi kacung di sini dong. Harusnya lo pergi ke Cappadocia naik jet pribadi. Ditemani selusin pramugara Italia berkulit eksotis dan berambut ikal, dan bisa lo panjat sewaktu- waktu!"

"Ngomong apaan sih?!" Arantxa langsung menyergah. "Udah deh. Lo jadi makan siang sama siapa? Greta? Pandji? Apa Hari?"

Arantxa berkemas. Ia mengambil tas tangan Michael Korsnya, merogohnya untuk mencari pouch yang berisi girls stuff. Ada loose powder, lip tint, lip gloss, lip balm dan lipstick dalam warna Cherry dan coral. Lalu ada tisu basah, tisu kering, permen, parfum, cotton bud, tusuk gigi, sunscreen, ikat rambut, jepit rambut, dan setting spray.

Cacha menggeleng- geleng melihat alat tempur Arantxa yang begitu lengkapnya. Tasnya juga kemungkinan bisa untuk memuat bayi enam bulan. Belum lagi tas laptopnya. Botol minum dan botol jus.

In Between Where stories live. Discover now