Lima Belas

752 116 21
                                    

Seperti biasanya, pada akhir pekan Arantxa selalu bangun lebih awal. Ia kemudian mengemudi ke Senayan untuk melakukan rutinitas lari pagi.

Kali ini ia memutuskan untuk mulai pukul setengah enam. Satu jam cukup untuk menyegarkan tubuh dan pikirannya. Lari membuatnya lebih tenang dan rileks, selain yoga, pilates, membaca  buku, dan mendengarkan musik atau ibadah.

Pagi itu ia hanya mengenakan tank top hitam dan celana jogger warna abu-abu. Rambutnya ia kepang jadi satu di belakang kepala. Ia memilih lagu-lagu dari Keane, Daughtry, serta Lifehouse sebagai teman lari.

Saking asyiknya berlari sambil mendengarkan lantunan Waiting for Superman milik Daughtry, ia kaget sewaktu sosok lelaki yang mengenakan kaus abu-abu dan celana training serta Air Jordan, sudah menyejajarkan diri dengan Arantxa.

Mata Arantxa kontan membelalak melihat  kehadiran lelaki itu yang tiba- tiba. Baru kemarin lelaki ini minta maaf padanya atas semua kelakuannya yang menyebalkan selama ini, mengapa sekarang dia mulai lagi?

Meskipun ketika tatapan mereka bertemu, ada desiran panas dalam darah Arantxa. Menggelegak.  Bergolak. Menyengat pembuluh darahnya. Juga jantungnya yang berpacu lebih cepat.

Wanita itu bahkan bisa mendengarkan degup jantungnya di telinga sendiri. Organ vital itu sepertinya pindah dari biliknya ke gendang telinga Arantxa, ketika matanya bertautan dengan sepasang mata gelap milik Rayan.

Lelaki itu tampak memesona dalam balutan pakaian olahraga dan rambutnya yang mencuat ke sana ke mari. Tampilannya seperti eksekutif muda yang sudah pasti akan jadi sasaran mata para perempuan dari segala usia.

Untungnya Arantxa masih menyumpal kedua telinganya dengan ear buds, sehingga ia punya sesuatu untuk mendistraksi dirinya dari pesona seorang Narayan Rawikara Soerja Rembaka yang kian waktu kian besar saja mempengaruhi Arantxa.

Wanita itu terus berlari hingga menyelesaikan sepuluh putaran. Sementara itu Rayan terus mengekorinya tanpa berbicara sepatah kata pun. Rasanya seperti teror bagi Arantxa. Namun mereka berdua sama-sama diam. Sembari menyelami perasaan masing-masing.

Rayan sendiri seolah-olah sedang menikmati momen kebersamaan dengan wanita yang belakangan ini sudah mencuri perhatiannya. Menjadi seseorang yang selalu dipikirkan Rayan setiap dia ingin memejamkan matanya. Membuatnya terkena insomnia setelah bertahun-tahun lamanya ia dinyatakan sembuh .

Dulu sewaktu masih menjadi mahasiswa PhD, Rayan adalah tipe orang yang sulit tidur. Dia kemudian sampai harus mendatangi psikolog supaya dapat mengatasi permasalahannya tersebut.

Tujuh bulan ia menjalani terapi, hingga merasakan kesembuhan secara perlahan. Lalu setelah itu, dia mulai menghubungi El kembali. Namun Rayan benar-benar syok ketika mendengar bahwa adiknya terkena musibah.

Rayanpun memutuskan untuk terbang ke Melbourne. Mendampingi El dalam sesi konsultasi dengan psikiater sejak adik perempuannya itu merasakan dorongan untuk bunuh diri setelah apa yang menimpanya.

Saat itulah dia bertemu dan mengenal sosok  Arkana. Lelaki tampan berpembawaan tenang dan selalu setia mendampingi El selama masa pemulihan dari trauma, meski adiknya itu sudah berkali-kali mengusirnya.

Apa yang terjadi memang bukan salah  Arkana. Juga bukan salah El. Mereka  bersama- sama karena musibah yang menimpa satu sama lain.

Arkana, lelaki itu hanya datang untuk membalas budi. Beberapa bulan setelah Arantxa pulang ke Malang, lelaki itu mengalami musibah. Ia dijambret di tengah keramaian ketika pulang dari sebuah bar di Docklands. Lalu  entah bagaimana ceritanya, namun Yvonne-lah  yang akhirnya menelepon dan mengabarkan bahwa lelaki itu masuk rumah sakit karena dua luka tusukan di pinggang.

In Between Where stories live. Discover now