BAB-2
PAMAN AHMAD
Satria berjalan keliling desa dengan kamera yang terus tergantung di lehernya. Dia ingin mengenang kembali masa-masa indah saat dirinya masih tinggal di desa. Sesekali tangannya sibuk mengambil gambar lingkungan desa dengan kamera kesayangannya.
Banyak warga yang berbisik-bisik saat berpapasan dan bertukar sapa dengan Satria di jalan. Kebanyakan dari mereka menunjukkan raut wajah kaget saat tahu jika lelaki gagah yang mereka temui adalah Satria.
Satria hanya tersenyum ramah menanggapi mereka yang begitu antusias saat melihat perubahan dirinya yang signifikan, terutama para ibu-ibu. Mereka langsung bertanya apakah Satria sudah mempunyai calon istri atau belum. Mereka juga bertanya apakah Satria mau dijodohkan dengan anak gadis mereka.
Satria terus melangkahkan kakinya hingga sampai di sebuah sungai yang airnya masih jernih lima tahun yang lalu. Satria tersenyum kecut saat memandang riak airnya.
"Kenangan buruk!" Satria bergumam pelan.
Satria bukannya pergi, tapi justru mengambil kameranya dan mulai memotret sungai di hadapannya.
Kegiatannya berhenti saat matanya tanpa sengaja melihat sisa-sisa bangunan pondok pesantren yang dibangun oleh mendiang kakek buyutnya. Padahal jarak sisa bangunan pondok dengan Satria berdiri berjarak sekitar lima kilometer, tapi karena berada dataran yang lebih tinggi dari tempatnya berdiri, Satria masih bisa menikmati pemandangan pondok pesantren yang hanya menyisakan pondasinya saja, dan beberapa bangunan yang terlihat pernah terbakar.
Tiba-tiba angin berhembus dengan kencang, menghantam tubuh Satria hingga bajunya bergoyang. Satria berusaha menutupi wajahnya dengan lengan kanannya agar matanya tidak terkena debu yang datang bersama angin.
"Cepat temui aku, Kang Mas!"
Suara perempuan menghampiri Satria bersamaan dengan laju angin. Setelah angin mereda, Satria menurunkan tangannya dan pandangannya memindai sekitar mencari sosok yang bersuara, tapi tidak ada siapapun di sekitar kecuali dirinya.
Tengkuk Satria tiba-tiba terasa dingin, perlahan pundaknya juga terasa sangat berat. Begitu beratnya sampai-sampai Satria terus membungkukkan badannya dan berakhir dengan lutut yang menyentuh tanah. Satria terdengar berteriak karena rasa sakit dan berat yang teramat di pundaknya.
Saat satria sudah hampir pingsan, tiba-tiba seorang lelaki seusia ibunya datang menekan-nekan tengkuk Satria dengan gerakan seperti mencabut sesuatu. Setelahnya beliau menepuk pundak kanan dan kiri Satria sebanyak tiga kali sambil mengucap kata-kata yang tidak dipahami oleh Satria.
Satria membuka matanya karena rasa berat di tubuhnya telah menghilang tidak berbekas sama sekali.
Satria membalikkan badan agar bisa melihat siapa yang telah menolongnya.
"Paman! Seruni!"
Satria tidak menyangka jika di belakangnya telah berdiri Paman Ahmad dan juga putrinya, Seruni.
"Kenapa kamu ada di sini, Satria?"
Paman Ahmad membantu Satria berdiri. Untuk sejenak pandangan sang paman menatap ke arah bekas puing-puing bangunan pondok pesantren keluarga kakak iparnya.
"Apa kamu baru saja menatap tempat itu, Satria?" Paman Ahmad menepuk pelan pundak Satria sambil mengarahkan dagunya ke arah bekas pondok.
"Iya, Paman. Memang kenapa?"
Satria bingung dengan ucapan pamannya. Tempat itu maksudnya apa? Bukankah itu hanya puing-puing bekas pondok pesantren peninggalan kakek buyutnya.
"Tidak apa-apa, Satria. Hanya saja kalau kamu ingin kesana jangan sendirian. Kamu bisa meminta tolong Paman untuk menemanimu agar hal buruk tidak menimpamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
SUSUK TERATAI PUTIH ( Tersedia Bentuk Novel)
HorreurSUMIRAH perempuan cantik pribumi yang lahir di era penjajahan Belanda mengalami pelecehan seksual oleh pria-pria di desa tempat dia tinggal. Ironisnya hal itu terjadi setelah mendapati suaminya yang suka main tangan berselingkuh dengan seorang penar...