BAB-4
FOTO
"Aku merindukanmu, Kang Mas."
Satria terus terngiang-ngiang dengan perkataan dari wanita cantik di mimpinya. Bahkan Satria juga tidak bisa melepaskan bayang rupa dari wanita yang begitu jelita itu.
"Siapa wanita itu sebenarnya?"
Tanpa sadar Satria bergumam.
Satria duduk di bale bale bambu di teras rumahnya, di sampingnya ada secangkir kopi hitam yang masih mengepulkan asap.
Pandangan Satria lurus ke depan, menatap jalanan desa yang telah diaspal. Sesekali Satria menganggukkan kepala saat ada orang yang menyapa dirinya.
Tiba-tiba ekspresi wajah Satria berubah seolah mengingat sesuatu yang begitu penting. Satria bergegas berdiri dan mengambil kamera yang ada di dalam kamar, lalu kembali duduk di teras rumah.
Satria mulai melihat hasil jepretannya kemarin sewaktu dirinya mengabadikan pemandangan di sekitar sungai dengan kameranya tersebut.
Hingga akhirnya jemarinya berhenti bergerak saat ada foto yang begitu menarik perhatiannya. Foto yang diambil dengan tidak sengaja itu terasa sangat aneh untuk Satria.
"Apa aku pernah mengambil gambar ini ya?"
Satria bergumam sambil jarinya sibuk memperbesar foto di hadapannya agar lebih jelas.
Mata Satria melotot memandangi apa yang ada di layar kamera kesayangannya. Terlihat di antara puing-puing sisa bangunan Pesantren berdiri seorang perempuan yang mengenakan kebaya kupu tarung warna hijau tua.
Satria berusaha memperbesar lagi tampilan fotonya tapi, karena terlalu jauh saat di ambil gambarnya justru menjadi pecah dan tak terlihat wajah perempuan tersebut.
"Ini tahun dua ribu sembilan belas, loh! Apa ya masih ada perempuan yang mau pakai kebaya dan kain jarik buat baju sehari-hari? Kalau ada yang pakai pun pasti karena ada karnaval atau kegiatan resmi." Satria kembali bergumam sendiri
Dirinya merasa pernah bertemu dengan wanita yang ada di foto. Walau gambar wajahnya pecah-pecah, tapi Satria yakin jika dirinya pernah bertemu dengannya di suatu tempat.
"Kang Mas!"
Satria terlonjak kaget saat tiba-tiba ada seseorang yang menepuk bahunya dan memanggilnya Kang Mas.
"Ibu?"
Satria menatap ibu sambil sesekali mengucek matanya.
Bu Hafsah merasa aneh dengan anaknya yang sedari tadi melamun sehingga menepuk dengan keras pundak anak lelakinya itu.
"Satria! Dari tadi ibu memanggilmu berkali-kali, tapi kamu diam saja, Nak. Kau tak apa-apa kan?"
Satria menggelengkan kepalanya dengan cepat karena sekilas wajah ibunya itu menyerupai sosok perempuan yang ada di mimpinya.
"Satria? Kau tak apa-apa, Nak?" Lagi Bu Hafsah mengulangi pertanyaannya.
"Iya, Bu. Satria tak apa-apa kok. Satria baik-baik saja. Ibu mau ke mana? Kok cantik sekali?"
Satria berusaha mengalihkan topik pembicaraan agar ibunya tak curiga. Tapi apesnya, pertanyaannya itu justru semakin membuat Bu Hafsah curiga.
"Ibu tidak mau pergi kemana-mana, Nak. Ibu juga hanya memakai daster biasa. Kok kamu bilang Ibu cantik?"
Satria gelagapan, pikirannya benar-benar kacau saat ini.
"Eh, anu ... Bagi Satria ibu selalu terlihat cantik kok. Apapun pakaian yang ibu kenakan, di mata Satria, ibu ada perempuan yang paling cantik." Satria menjawab asal sambil cengengesan.
Bu Hasanah menggelengkan kepalanya melihat tingkah aneh anaknya itu. Kemudian beliau duduk di samping Satria.
Bu Hafsah terlihat ingin berbicara serius dengan anak semata wayangnya itu.
"Boleh Ibu bertanya sesuatu padamu, Nak?"
Bu Hafsah memegang tangan Satria, sementara itu Satria hanya bisa menganggukkan kepala.
"Mau berapa lama kamu ada di sini, Nak?"
Dahi Satria berkerut begitu mendengar pertanyaan ibunya.
"Kenapa Ibu bertanya seperti itu? Satria pulang ke rumah kan karena permintaan ibu. Apa Ibu mengusir Satria?"
Bu Hafsah terdiam sejenak, kemudian berdiri dan melangkahkan kaki ke dalam rumah meninggalkan Satria yang terheran-heran.
"Kak, Satria! Boleh Lilis mampir?"
Terlihat seorang gadis dengan tampilan kekinian melambaikan tangan di jalan depan rumah Satria. Di mata Satria, gadis yang melambaikan tangan ke arah nya memang cantik tapi masih kalah jauh dengan wanita yang ada di mimpinya.
Lilis dengan santainya melangkahkan kaki ke arah Satria. Gadis cantik yang memakai kaos dan celana jin press body itu yakin jika lelaki di hadapannya akan terpesona dengan penampilan dan kecantikannya.
"Ada apa Lilis? Ada perlu apa kamu kemari?"
Belum sempat Lilis dan Satria bertukar kata. Bu Hafsah yang keluar dari dalam rumah langsung menyapa Lilis. Bu Hafsah terlihat memegang sebuah album foto yang sudah terlihat kuno dan tua serta kusam.
"Eh Bu Hafsah, tidak ada apa-apa kok, Bu. Lilis hanya mampir ingin kenalan dengan Kak Satria."
Lilis terlihat kikuk karena aksinya dipergoki oleh Bu Hafsah.
"Oh, sudah belum yang kenalan dengan anak ibu, Lis? Kalau sudah, lebih baik kamu segera pulang, ya. Tidak elok anak gadis datang ke rumah lelaki asing tanpa didampingi oleh keluarganya. Ibu takut nanti orang lain akan salah paham."
Suara Bu Hafsah terdengar sangat halus tapi bagi Lilis kata-kata wanita sepuh itu menusuk hatinya.
Lilis cemberut namun sebelum memutar badan untuk pulang tangan halus Lilis dengan cepatnya memberikan secarik kertas langsung di genggaman Satria dan setelahnya tanpa permisi langsung pergi dari rumah Bu Hafsah.
"Apa kamu menyukai wanita seperti itu, Nak?"
Satria dengan cepat menggerakkan telapak tangannya, seperti anak kecil yang sedang menolak disuapi makanan oleh ibunya. Bu Hafsah terkekeh melihat reaksi dari anaknya itu.
"Duduklah anakku! Ibumu ini ingin menceritakan sesuatu padamu."
Bu Hafsah duduk di bale bale bambu, diikuti oleh Satria yang penasaran dengan album foto yang dipegang oleh ibunya.
"Apa itu, Bu?"
"Ini album foto lama, Nak. Kamu ingin melihatnya?"
Satria mengangguk, tangannya mengambil alih album foto tua yang sedari tadi dipegang Bu Hafsah.
Satria membuka halaman pertama satu persatu hingga di akhir halaman album foto. Tak ada yang istimewa di dalamnya kecuali gambar orang-orang yang tidak Satria kenal.
"Ada yang membuatmu tertarik, Nak? Bukankah wanita di dalam foto itu cantik-cantik dengan kain kebaya jaman dulu. Keanggunan yang alami, tak seperti gadis-gadis zaman sekarang yang memakai baju kurang bahan."
Satria hanya diam tak menanggapi karena tidak mengerti maksud perkataan ibunya.
Walaupun wanita di dalam foto memiliki paras menawan, pasti mereka semua sudah meninggal dunia. Di pojok foto pun terdapat tulisan tahun 1821 sedangkan sekarang sudah tahun 2019. Sudah 200 tahun yang lalu pasti sudah tak ada yang hidup.
Saat satria mulai bosan dan akan menutup album foto usang tersebut, matanya melihat dalam foto hitam putih yang tanpa sengaja terjatuh ke pangkuannya.
Foto yang bergambar wajah seorang wanita dengan selendang panjang menutupi kepala dan dadanya.
Satria terpesona karena muka wanita itu sangat cantik dan menawan. Kecantikannya sangat berbeda dengan kecantikan dari perempuan yang dia temui di mimpi.
Bu Hafsah tersenyum saat melihat Satria yang begitu fokus melihat satu foto di antara puluhan foto yang lain.
"Beliau adalah Eyang Fatimah. Nenek buyut dari garis keturunan ibumu, Satria."
NB: BACA BAB SELANJUTNYA DI KARYAKARSA/KBM/BESTORY DENGAN JUDUL YANG SAMA
KAMU SEDANG MEMBACA
SUSUK TERATAI PUTIH ( Tersedia Bentuk Novel)
TerrorSUMIRAH perempuan cantik pribumi yang lahir di era penjajahan Belanda mengalami pelecehan seksual oleh pria-pria di desa tempat dia tinggal. Ironisnya hal itu terjadi setelah mendapati suaminya yang suka main tangan berselingkuh dengan seorang penar...