SEJARAH

10.7K 1.1K 8
                                    

" Perkenalkan, nama saya Purnomo, orang-orang memanggil saya pak Pur. Sebenarnya anda itu siapa mas? Kenapa bisa sampai ditempat itu?"

Dahi Anggara berkerut. Tempat itu? Apa maksudnya? Bukankah itu masjid, rumah Allah, dan siapapun boleh beribadah didalamnya.

" Maafkan saya pak Pur, saya Anggara. Saya berasal dari pulau seberang."

" Oh, kau bukan asli sini toh, pantas saja"

" Memang ada apa pak?"

Belum sempat pak Purnomo menjawab, seorang gadis muda berjalan mendekati Anggara dan pak Purnomo yang sedang berdialog dirumah pak Pur.

Gadis itu adalah Lastri, anak bungsu pak Pur. Lastri berjalan sambil membawa nampan berisikan 2 gelas teh hangat dan sepiring singkong rebus.

Mata Lastri terus menatap takjub karena terpesona oleh ketampanan dan kharisma Anggara. Sementara itu yang ditatap diam tak membalasnya sama sekali.

" Eheemm!"

Suara deheman pak Purnomo membuyarkan konsentrasi Lastri.

" Masuklah nduk!"

" Tapi pak!"

" Eheeem....!"

Pak Purnomo kembali berdehem, dirinya tidak suka jika perintahnya ditolak. Lastri yang kecewa pun menghentakkan kakinya, lalu masuk kedapur dengan wajah cemberutnya.

" Maafkan dia nak Anggara, dia Lastri, anak bungsuku, he..he...!"

" Iya pak, tidak apa-apa"

" Oh ya, saya lupa memperkenalkan diri karena tadi terburu-buru mengeluarkanmu dari sana. Tadi sudah kusebutkan, namaku Purnomo, saya kepala desa Kalimas. Kalau nak Anggara membutuhkan bantuan sesuatu, nak Anggara bisa datang menemui saya"

" Oh, maafkan saya pak Pur, tadi sebenarnya sesampainya di desa Kalimas, saya berniat akan langung pergi ke rumah bapak. Namun ditengah perjalanan saya mendengar suara adzan, jadi saya mengurungkan niat saya untuk langsung menemui bapak, saya mencari masjid untuk sholat. Itulah kenapa saya bisa sampai dimasjid tadi pak."

" Adzan? Maksud nak Anggara, njenengan mendengar suara adzan begitu?"

" Iya pak, saya mendengar suara adzan dengan sangat jelas pak!"

Pak Pur menyalakan rokoknya, Anggara menolak saat pak Pur menawarinya. Pak Pur menghisap rokoknya dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan.

" Sebenarnya kau ini siapa nak Anggara?"

Pak Pur menatap lekat kearah Anggara. Anggara yang tak paham pun menunjukkan ekspresi bingung.

" Maksud bapak?"

" Kau tahu nak, sudah sejak lama di desa ini tidak ada yang mengumandangkan adzan. Hanya orang-orang tertentu yang bisa mendengar kumandang adzan dari tempat itu. Kau itu sebenarnya siapa nak Anggara?"

Anggara tersenyum ramah, menatap lekat ke manik pak Purnomo.

" Saya hamba Allah biasa pak Pur, yang kebetulan takdir telah membawa saya kemari."

SUSUK TERATAI PUTIH ( Tersedia Bentuk Novel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang