BAB-3
SATRIA dan TUSUK KONDE EMAS
"Kang Mas!"
"Kang Mas!"
"Tolong aku!"
Satria kini berada di sungai yang tadi pagi dirinya kunjungi. Pria itu berdiri sambil berputar-putar di tempat, mencari sosok yang sedari tadi memanggilnya.
"Kang Mas, kemarilah!"
Lagi suara perempuan terdengar.
"Kau di mana, Mbak!"
Satria berteriak kencang.Tapi kali ini tak ada sahutan.
Satria memandangi air sungai yang jernihnya memantulkan sinar matahari. Tanpa sadar Satria semakin mendekati pinggiran sungai, lalu berjongkok agar bisa melihat pantulan wajahnya sendiri di air sungai tersebut.
"Aku merindukanmu, Kang Mas Anggara!"
Tiba-tiba dari pantulan air sungai terlihat jelas sosok perempuan yang jelita berdiri tepat di belakang Satria. Satria sangat terpesona dengan wajah cantiknya yang sempurna. Mata milik Satria tak berhenti melihat pantulan wajah perempuan cantik di air sungai.
"Aku merindukanmu, Kang Mas Anggara!" Lagi, sosok di belakang Satria berucap.
Satria mengerutkan dahinya karena heran kenapa dirinya dipanggil Anggara, padahal namanya adalah Satria.
Saat satria kebingungan, tiba-tiba dari dalam sungai muncul kepala ular berwarna merah menyala yang sangat besar dan ular tersebut membuka mulutnya lebar-lebar. Satria yang tak ada persiapan akhirnya ditelan hidup-hidup.
Satria terbangun dari tidurnya dengan posisi terduduk dan nafas ngos-ngosan. Peluh membanjiri tubuhnya.
"Di mana Aku?"
Satria bergumam sambil menatap sekitar, tangannya mengusap wajah dengan kasar saat tahu jika dirinya berada di rumah ibunya.
"Satria! Kau tak apa, Nak?"
Bu Hafsah masuk begitu saja ke kamar anak lelakinya setelah mendengar teriakan Satria.
Bu Hafsah yang tengah mengenakan mukena putih membuat Satria semakin terkejut.
"Ibu!" Satria berteriak kencang sang ibu malah tertawa.
"Kamu kenapa toh, Satria? Kok teriak-teriak begitu?"
Satria ragu untuk menceritakan perihal mimpinya kepada ibunya. Karena takut membuat beliau khawatir.
"Satria? Kau tak apa-apa, Nak?"
Satria tersenyum berusaha membuat ibunya tenang.
"Satria tidak apa-apa, Bu. Satria hanya mimpi buruk. Mungkin karena saja sudah lama tidak pulang. Jadi butuh adaptasi dengan kamar ini."
Bu Hafsah bingung dengan jawaban anaknya yang terdengar aneh. Sementara itu Satria turun dari ranjangnya dan bergegas menuntun ibunya yang berada di samping ranjangnya agar keluar dari kamarnya.
Sesampainya di luar pintu, Bu Hafsah membalik badannya ke arah anaknya.
"Yakin kau tidak apa-apa, Nak?"
Satria tersenyum kembali dan menganggukkan kepala sebagai jawaban. Tangannya kembali mendorong tubuh ibunya. Seakan tak percaya dengan jawaban sang anak. Bu Hafsah memeriksa seluruh tubuh anaknya itu. Bu Hafsah ingin memastikan kalau Satria memang tidak apa-apa.
Setelah yakin. Bu Hafsah pun membalik badannya hendak kembali ke kamarnya. Tapi baru saja melangkah hendak pergi, kembali tubuhnya yang sudah tak muda itu memutar dan menatap wajah tampan anaknya.
"Kau tak sholat tahajud, Nak? Sholatlah! Mumpung kau sudah terbangun."
Satria meringis sambil garuk-garuk kepalanya yang tak gatal mendengar perintah ibunya. Selama di perantauan dirinya memang tidak pernah menjalankan ibadah sholat. Jangankan sholat tahajud atau sholat sunnah yang lain. Sholat lima waktu saja sengaja dia tinggalkan karena merasa sakit hati dengan Tuhan yang membuatnya jatuh cinta dengan wanita namun justru membuat takdir tidak bisa memiliki wanita idamannya itu.
"Iya, Bu. Nanti Satria shalat. Ibu lanjutkan saja sholat Ibu di kamar ya, Bu."
Satria berbicara tergagap, terpaksa dirinya berbohong agar ibunya segera meninggalkannya sendirian.
Karena diusir berkali-kali oleh Satria. Bu Hafsah mau tak mau akhirnya mengalah dan memilih kembali ke kamarnya. Bu Hafsah merasa jika anaknya itu telah banyak berubah.
Sementara itu Satria langsung masuk ke kamar dan mengunci pintu kamarnya rapat-rapat setelah ibunya pergi.
Satria membuka laci di meja kecil samping tempat tidurnya. Tangannya mengambil sebuah tusuk konde berwarna emas.
Lelaki itu menatap dan memeriksa tusuk konde yang dipungutnya di pinggir sungai tadi pagi.
Saat dirinya berlutut karena beban di pundaknya, tiba-tiba saja dalam genggaman Satria terdapat tusuk konde emas tersebut dan tanpa pikir panjang Satria membawa pulang karena saat itu ada pamannya dan Seruni yang menyuruhnya untuk bergegas pulang.
Satria membolak-balik tusuk konde emas tersebut. Mengusap-usap pangkal tusuk konde yang berbentuk kepala ular lalu memeriksa bagian lain dari tusuk konde tersebut.
"Bunga teratai?" Satria bergumam saat tahu jika tusuk konde di tangannya terukir sebuah gambar bunga teratai.
"Kang Mas, aku merindukanmu!"
Suara perempuan terdengar lagi di telinga Satria membuat tusuk konde yang dia pegang terjatuh karena kaget.
Satria yang merasa kehilangan, berusaha mencari tusuk konde yang terjatuh. Tapi tiba-tiba lampu kamarnya mati. Satria berusaha mengambil ponsel miliknya yang tak juga diketahui dimana keberadaannya.
Satria kelimpungan tapi untung saja lampu di kamarnya menyala kembali dan begitu kagetnya Satria saat tusuk konde yang tadi jelas-jelas jatuh di lantai kamarnya telah kembali ke dalam genggamannya
Satria merasa sangat pusing dengan keganjilan yang menimpa dirinya. Baru satu hari di desa tapi hal aneh terus saja terjadi.
Satria membaringkan tubuhnya di ranjang, di matanya terpampang dengan jelas wajah perempuan yang sangat jelita yang baru saja ditemuinya dalam mimpi. Alhasil sepanjang malam Satria tak mampu menutup matanya dan baru tertidur saat adzan subuh berkumandang.
"Kamu tadi pagi tidak sholat subuh, Nak?"
Satria yang baru saja bangun dan keluar dari kamarnya tercekat dengan pertanyaan ibunya yang mendadak itu. Satria lagi-lagi berbohong. Dia mengatakan kalau sehabis sholat subuh dirinya tidur lagi karena masih letih.
Bu Hafsah yang tak banyak komentar hanya mengangguk dan membiarkan anak lelakinya ke kamar mandi.
"Hari ini Ibu masak apa?"
Satria menghampiri meja makan yang menyatu dengan dapur. Terlihat jika wajahnya sudah bersih dan tercium aroma shampo dari rambutnya.
"Buka tutup saji, Nak. Ada masakan spesial untukmu."
Satria bergegas membuka tudung saji. Matanya berbinar melihat ayam rica-rica yang berwarna coklat kemerahan tertata rapi. Tak menunggu lama, dirinya pun duduk di kursi dengan manis. Bersiap untuk makan.
"Makanlah, Satria. Ibu khusus memasak ini untukmu. Selama di perantauan apa kau merindukan masakan ibumu ini, Nak."
Bu Hafsah berbicara sambil mengambilkan nasi dari rice cooker dan menaruhnya di piring milik Satria. Satria tak menjawab pertanyaan ibunya. Kini dirinya hanya fokus pada makanan di hadapannya.
Bu Hafsah tersenyum bahagia melihat anaknya yang makan dengan lahapnya.
"Satria ...." Bu Hafsah memanggil lembut anaknya dan mengusap dahi Satria yang berkeringat karena memakan ayam rica-rica yang pedas.
"Nak, engkau harus berhati-hati dengan perempuan yang cantiknya terlalu sempurna."
KAMU SEDANG MEMBACA
SUSUK TERATAI PUTIH ( Tersedia Bentuk Novel)
TerrorSUMIRAH perempuan cantik pribumi yang lahir di era penjajahan Belanda mengalami pelecehan seksual oleh pria-pria di desa tempat dia tinggal. Ironisnya hal itu terjadi setelah mendapati suaminya yang suka main tangan berselingkuh dengan seorang penar...