kegalauan Deraa

62 40 71
                                    

Sejuk pagi masih terasa udara cukup cerah yang disambut dengan cahaya matahari  dengan cuitan burung yang saling bersahut-sahutan. Akan tetapi tidak dengan Deraa yang berdiri melamun di balkon asrama. Tidak seperti hari sebelum-sebelumnya hari ini ia terlihat galau dengan tatapan kosong. Entah apa yang dipikirkannya.

Embun berjalan menuju ke lantai satu melihat keberadaan Deraa. Ia langsung memegang pundak Deraa dari belakang.

"Raa"

Deraa terkejut dengan kedatangan sahabatnya itu secara tiba-tiba.

"Astagfirullah Ukhti." Sambil mengelus-elus dadanya.

"Tumben banget loh, masih pagi-pagi begini sudah di teras melamun lagi, lagi mikirin apa?" Embun yang melihat gadis bercadar yang di depannya itu tidak seperti biasanya.

"Hm" Deraa masih bingung mau jawab apa karena pikirannya benar-benar kacau.

"Ada masalah?" tanya Embun yang khawatir dengan sahabatnya itu.

Deraa tidak menjawab pertanyaan Embun ia kembali memperhatikan mahasiswi lainnya yang sedang piket membersihkan halaman asrama.

"Kamu tidak apa-apa, kan?" tanya Embun lagi.

Belum ada jawaban apapun dari Deraa.

"Raa, saya kalau ada apa-apa bilang ke kamu, dan kamu selalu membantu saya... Kamu kenapa?"

"Saya takut Ukhti," jawab Deraa.

"Takut orang itu benar-benar menembak saya, kamu tau 'kan selama ini saya berusaha untuk menjaga jarak dengan laki-laki," sambung Deraa setelahnya.

Hanya di sertai anggukan dari Embun.

"Saya gak mau jadi wanita yang selalu berada dalam khayalan lelaki ajnabi apalagi sampai di tembak," ucap Deraa dengan air mata yang mulai menetes membasahi cadarnya.

"Raa, kamu 'kan pakai cadar kok dia bisa suka sama kamu?" tanya Embun heran.

"Wanita adalah aurat, jika dia keluar, setan memperindahnya (Hadist Riwayat At Tirmidzi no. 1173, dishohihkan Al Albanih dalam shohih At Tirmidzi)," jelas Deraa.

Embun mencoba memahami penjelasan Deraa.

"Jadi kita tidak boleh keluar maksudnya, Raa?"

"Boleh hadistnya 'kan tidak melarang wanita keluar, tetapi wanita itu adalah aurat, jadi kita tetap boleh keluar kalau ada udzur atau kepentingan kalau tidak terlalu ada yang penting sebaiknya di rumah atau di asrama karena sebaik-baiknya tempat wanita adalah rumahnya," jelas Deraa sambil mengusap bekas air matanya.

Kini Embun mulai sadar akan syariat Islam mau tidak mau ia harus bisa menerimanya walaupun harus dengan sebuah paksaan.

"Sebenarnya saya mau keluar sih, Raa, mau beli kamus bahasa Arab"

"Alhamdulillah, saya nitip yah, Ukhti, soalnya mau keluar tapi takut ketemu ikhwan itu lagi"

"Yah, padahal saya sih, mau ajak kamu, Raa, emang kamu tidak mau keluar?"

"Maaf Ukhti, saya tidak bisa"

"Yah, udah gak apa-apa, emang mau nitip apa?" tanya Embun.

"Pulpen warna biru, yah"

"Oke, saya siap-siap dulu"

Hanya di sertai anggukan dari Deraa.

***

Tanpa di  temani oleh Deraa, Embun pun akhirnya keluar menuju ke sebuah toko. Saat di perjalanan Embun tanpa sengaja bertemu dengan kedua teman Inggat.

Pelengkap ImankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang