Singapura, 10 Tahun Kemudian - Bagian 1

60 12 0
                                    

Zahira berjalan di sepanjang Jalan Victoria di Kota Singapura. Acara seminar Psikologi internasional yang dia ikuti telah selesai dan Zahira sedang berjalan kembali ke hotelnya. Angin berhembus kencang. Zahira menyampirkan ujung kerudungnya yang terjatuh ke atas pundaknya. Ya, Zahira telah mengenakan kerudung semenjak masuk kuliah, kira-kira sejak setahun setelah Zahira melakukan studi banding ke Jepang. Zahira hendak masuk ke hotel melalui pintu hotel ketika dia merasakan sesuatu.

...

...

...

... apa itu?

Zahira ingat betul dia pernah mengalami hal ini sebelumnya. Apakah ada sesuatu yang memanggilnya? Tiba-tiba, 10 tahun yang lalu berasa seperti baru kemarin.

Zahira mengamati gedung di seberang jalan. Itu merupakan gedung dari Universitas Seni Singapura. Zahira mengagumi gedung itu, entah mengapa selain karena gedung tersebut berbentuk dan berwarna unik. Zahira tersenyum singkat. Ia pun memasuki hotel.

***

Zahira membaringkan badannya di kasur. Seluruh rangkaian acara, seminar dan workshop, telah berakhir. Total durasi acara ada sebanyak tiga hari, tetapi Zahira mengambil cuti lima hari, yang berarti seminggu hari kerja. Selama ini, Zahira bekerja di bagian Manajemen Sumber Daya Manusia di suatu perusahaan. Sesungguhnya, Zahira berencana untuk berhenti bekerja di Manajemen Sumber Daya Manusia perusahaan karena ingin bekerja sebagai guru atau staf konseling di sekolah, itu keinginannya sejak lama. Kebetulan acara yang dia temukan ini didukung oleh UNICEF. Itu cukup untuk membuat Zahira terbang ke Singapura demi mempelajari anak-anak di dunia dan mendapatkan sertifikasi.

Zahira melihat-lihat Instagram lewat ponselnya. Orang-orang yang dia ikuti dan yang mengikutinya sudah mencapai angka 900-an, hampir-hampir 1000. Dia masih berteman dengan beberapa temannya yang dari Jepang, itu berlanjut sampai ke Instagram. Dia menemukan teman-teman Jepang-nya yang punya pekerjaan bagus, yang sudah menikah, yang sudah punya anak karena menikah setelah lulus SMA (dan tidak kalah sukses), dan sebagainya. Mungkin itu karena kultur Jepang yang benar-benar strive for excellence—fokus untuk mencapai kesuksesan, teman-teman Jepang yang Zahira kenal tampak berhasil mengejar kesuksesan.

Yah, ini bukan berarti aku tidak sukses, sih. Aku hanya turut merasa senang dengan kesuksesan mereka.

Ada satu-satunya hal yang mengusik Zahira: keberadaan Kuroki bersaudara. Zahira dan Takashi berteman di Instagram. Namun, satu foto yang ada di halaman profil Takashi adalah foto Takashi dengan kakaknya, Takurō, saat pesta kelulusan SMA. Itu sudah sekitar 8 tahun yang lalu. Selain itu, tidak ada update lainnya. Zahira tahu kalau kakaknya Takashi tidak punya Instagram. Zahira pernah bercakap dengan Takashi lewat Line untuk menanyakan Takashi berkuliah di mana. Takashi menjawab kalau dia berkuliah di sebuah universitas seni di Kyoto. Setelah Zahira mengucapkan selamat, pesan selamat Zahira hanya dibaca oleh Takashi.

Itu membuat Zahira tersadar. Gedung di seberang hotel adalah gedung universitas seni. Apakah karena itu dia tertarik pada gedung tersebut? Zahira sudah lama tidak menggunakan Line karena lebih sering memakai WhatsApp untuk keperluan percakapan saat ini. Dia pun membuka Line-nya di iPad karena di situ memorinya masih banyak untuk memasang aplikasi Line. Dia mencari kontak Takashi.

Setelah menemukannya, Zahira tercengang. Foto profil Line Takashi sudah berubah, setidaknya berubah semenjak Zahira menghubungi Takashi lewat Line. Melihat halaman profil Line Takashi, Zahira menemukan bahwa Takashi sudah berulang kali ganti foto, termasuk selama Zahira tidak menggunakan Line.

Zahira terkekeh sendiri. Zahira mengingat kejadian dia mengatakan perasaan suka kepada Takashi saat di Jepang. Zahira dan Takashi yang dirasa cocok. Zahira dan Takashi yang sama-sama menyukai "One Piece". Apakah itu gejolak remaja? Atau justru itu rasa kagum murni? Banyak hal yang bisa dirasakan ketika remaja, Zahira paham itu.

Zahira kembali mengamati foto profil Line Takashi yang terbaru. Matanya membulat. Dia seperti pernah melihat lorong yang menjadi foto profil Takashi itu. Entah di mana dia pernah melihatnya.

Akhirnya, Zahira berhenti melihat profil Line Takashi. Dia merasa butuh mandi. Dia meletakkan ponsel dan iPad-nya di atas kasur lalu mengambil handuk di kamar mandi.

***

Keesokan paginya, Zahira menyiapkan sarapan nasi lemak instan yang pernah dia beli di suatu supermarket yang dia kunjungi. Zahira memasaknya di rice cooker elektrik yang sengaja dia bawa dari Indonesia karena dia merasa ingin mencoba memasak nasi sendiri di Singapura, apalagi kalau dia berkesempatan memasak nasi biryani. Zahira pun menunggu nasinya matang. Zahira duduk di kasur sambil mengamati ponsel dan iPad-nya yang masih ada di atas kasur. Sesuatu menggelitik Zahira.

Ternyata, Zahira belum menyerah. Dia menangkap layar untuk mendapatkan gambar foto profil Line Takashi. Dia memanfaatkan pencarian menggunakan gambar di mesin pencari. Melihat nama tempat di mana lorong itu berada, mata Zahira membulat lagi.

"Universitas Seni Singapura," gumam Zahira.

Zahira turun dari lantai kamarnya ke bawah, menuju lobi, lalu keluar lewat pintu yang di seberangnya adalah gedung universitas itu. Zahira kembali mengamati foto lorong di ponselnya dan bagian gedung yang terletak tepat di depan hotel.

"Itu dia. Itu lorongnya."

Pertanda Takashi pernah berada di situ.

***

Zahira memberanikan diri menyebrang ke gedung universitas itu selepas sarapan. Dia pun sampai di lorong yang terlihat dari hotel. Zahira melihat-lihat lorong tersebut. Untuk sebuah lorong biasa, lorong tersebut punya daya tarik tersendiri. Mungkin itu karena lorong ini merupakan lorong gedung paling "artistik" di Singapura. Zahira pun memutuskan untuk mencari Takashi.

"Permisi," Zahira memanggil seorang wanita yang berjalan di lorong menggunakan bahasa Inggris, "apakah kamu mahasiswi di sini?"

"Iya, benar," jawab mahasiswi itu.

"Apakah kamu kenal dengan seseorang bernama Kuroki Takashi? Atau Takashi Kuroki, kalau urutan namanya begitu?"

"Wah, maaf, aku tidak tahu," mahasiswi itu menjawab. "Orang Jepang, ya? Di sini memang ada orang Jepang, baik di S-1 maupun S-2. Aku masih S-1, tapi tidak ada temanku yang dari Jepang bernama Kuroki. Mungkin dia S-2?"

"Oh, begitu ya? Terima kasih. Mohon maaf sudah mengganggu."

"Tidak apa-apa." Kemudian, mahasiswi itu melanjutkan berjalan meninggalkan Zahira.

Zahira menepuk keningnya. Masuk akal kalau Takashi saat ini menjadi mahasiswa S-2 karena dia pasti sudah lulus S-1 beberapa tahun yang lalu. Zahira pun memutuskan untuk mencari mahasiswa atau mahasiswi S-2, tetapi kemudian iPad-nya bergetar. Entah mengapa iPad-nya begetar selain karena notifikasi games. Zahira pun melihat notifikasinya.

Aku tahu kamu mencariku. Aku mengirim pesan ini sekaligus memastikan kalau Line-mu masih aktif. Kalau kamu mau bertemu denganku, pergilah ke kafe Swedia di Jalan Beach pukul 3 sore nanti.

Ternyata, dia mendapatkan pesan Line dari Takashi. Zahira terkejut sendiri. Takashi ada di sini?? Zahira melihat sekeliling, tetapi tidak ada orang lain yang terlihat. Zahira pun menghela napas. Kalau itu benar dari Takashi, Zahira memutuskan menunggu hingga sore.

***

Zahira sampai di kafe yang dimaksud tepat pukul 3. Kafe tersebut terdiri dari tempat makan outdoor dan indoor. Di bagian tempat makan outdoor, tidak terlihat siapa pun. Zahira pun masuk ke dalam kafe. Ada beberapa orang yang sedang makan di bagian dalam kafe. Zahira menyusuri kafe perlahan, mencari orang yang sekiranya adalah Takashi. Di mana dia? Yang mana?

"Ternyata, kita tidak bertemu lagi di Asakusa. Kita malah bertemu di Singapura."

Zahira membalikkan badan. Di meja di hadapannya, Kuroki Takashi sedang duduk.

Seminggu di AsakusaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang