Ada banyak hal yang berubah dalam diri Raka, itulah yang Jessa rasakan akhir-akhir ini. Apalagi saat mereka sudah kembali dan tinggal di rumah besar pria itu. Raka, jauh lebih manusiawi menurutnya.
Dia tidak semenyebalkan saat pertama kali mereka bertemu. Tidak seketus atau sekejam saat mereka baru bertunangan. Juga tak sekasar saat mereka awal menikah. Pria itu memang masih acuh, masih sedikit galak dan cuek. Namun setiap kali Jessa berbicara, mengatakan sesuatu pada pria itu.
Pria itu akan mendengarkannya, menurutinya meski dengan wajah jengah dan ekspresi tak terima di awal. Jangan lupakan segala ucapan penuh sarkas pria itu yang kadang membuat Jessa mengusap dada sabar.
Menahan diri untuk tak membalas segala ucapan kasar pria itu. Tapi percayalah, dia akan melakukan apa yang Jessa minta setelahnya. Seakan, pria itu hanya kejam, angkuh dan dingin di luar, namun sebenarnya hangat dan lembut di dalam.
Dia hanya seakan gengsi untuk menunjukkan sifat hangat dan lembutnya pada orang-orang di sekitarnya. Menutupi semua sikap perhatian dan pedulinya dengan sikap cuek dan dinginnya.
Seperti malam ini. Jessa mengatakan pada pria itu jika ia kini berada di rumah mertuanya. Sepulang dari butik tadi, mertuanya memintanya untuk datang dan berkunjung untuk makan malam bersama. Jessa tidak meminta pria itu untuk datang menjemput atau berharap lebih dari itu. Mengingat, pria itu bahkan tak membalas pesannya. Jangankan di balas, di baca pun tidak.
Tapi, apa kalian tahu apa yang terjadi setelahnya? Yah, pria itu muncul di jam yang hampir mendekati jam makan malam. Padahal selama beberapa hari tinggal bersama pria itu. Pria itu selalu pulang lewat tengah malam. Atau lebih parahnya lagi hampir dini hari.
Dan sekarang, saat tiba-tiba melihat pria itu datang disaat ia mengatakan akan makan malam di rumah mertunya. Dia kembali menemukan hal yang berbeda dari pria itu.
Senang? Tentu saja. Jessa bahkan tak bisa menutupi senyum lebarnya begitu menemukan kedua mata itu menatapnya. Tanpa ragu ia bahkan segera menghampiri pria itu. Merentangkan tangan untuk meraih tas kerjanya dan juga jas pria itu.
"Cih, ingin bersikap menjadi menantu yang baik?" Sindir Raka yang malah membuat senyum Jessa mengembang lebar. Wanita itu bahkan terlihat tak peduli dengan nada suara Raka yang terdengar sinis. Dengan santai dia malah memeluk lengan pria itu dan menariknya untuk mengikuti langkahnya. Melangkah ke arah kamar pria itu yang berada di lantai dua.
"Kenapa pesanku nggak dibalas? Aku kira kamu nggak akan ke sini."
"Sibuk." Jawaban Raka mengundang wajah cemberut Jessa. Bibirnya bahkan maju beberapa senti.
"Kalau aku tahu kamu ke sini kan tadi aku mau nitip sesuatu."
Raka hanya melirik wanita di sampingnya sekilas, tetap menutup mulutnya rapat. Membiarkan wanita itu mengatakan apa pun sesukanya. Sampai mereka masuk ke dalam kamarnya, wanita itu baru melepaskan pelukannya di lengannya. Membiarkan Raka melepas jam tanganya sedang Jessa menghilang di pintu kamar mandi.
"Kita nginep di sini, ya?" Ujar jessa, mengulurkan handuk ke arah Raka yang kini duduk di pinggir ranjang dan sibuk melepaskan sepatunya.
Raka hanya bergumam sekenanya. Karna kini ia sudah bangkit dan hendak menerima uluran handuk dari wanita di depannya. "Tapi aku lagi datang bulan,... dan nggak punya pembalut." Ucapan Jessa seketika menghentikan gerakan tangan Raka. Pria itu seketika menatap wajah yang menatapnya dengan wajah memerah itu. Seakan wanita itu benar-benar malu atas apa yang telah ia katakan.
"I-ini hari pertama ku datang bulan. Jadi aku nggak bawa persiapan. Lagipula tadi aku rencananya mau pulang kalau kamu nggak ke sini. Tapi mama minta nginep kalau kamu ke sini. Dan kamu malah tiba-tiba datang." Cicit jessa takut-takut. Antara malu dan juga tidak punya pilihan lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Perfect Bride (SELESAI)
AcakJessa sama sekali tidak bisa menolak begitu kedua orang tuanya memaksanya untuk menikah dengan Raka. Pria dingin tak punya hati yang di jodohkan oleh kedua orangtuanya dengannya. Awalnya semua berjalan lancar. Semua baik-baik saja ketika Jessa yaki...