Sebagian bab sudah di hapus
Tersedia versi karyakarsa juga ebook
***
Diantara moodnya yang sedang tidak baik-baik saja seharian ini, Jessa keluar dari butiknya pukul delapan malam, jam yang tidak terlalu malam untuk seseorang yang mencari angkutan umum. Namun, baru saja ia membuka pintu, ia tertegun. Lama ia diam di tempatnya saat tak sengaja kedua matanya bertemu tatap dengan sesorang. Seseorang yang seharian ini bahkan tak ia harapkan kehadirannya saat ini.
Dia di sana, bersandar di kap mobilnya dengan kedua tangan terlipat, menatapnya lurus yang hanya diam di tempatnya.
Ada tarikan nafas dalam yang keluar dari bibir Jessa sebelum dia melangkah ke arah pria itu. Walau kehadiran pria itu tak ia harapkan disaat moodnya hancur begini, namun dia juga tidak bisa mengabaikan keberadaan pria itu-yang sudah datang jauh-jauh ke sini. Setidaknya, ia yang meminta pria itu untuk datang ke sini pagi tadi.
Sama sekali tidak ada suara, bahkan begitu ia tiba di depan pria itu. Pria itu masih menutup rapat mulutnya, menatapnya lurus hingga beberapa saat barulah ia memutuskan tatapannya dan segera masuk ke dalam mobilnya. Semua itu, tanpa sadar membuat Jessa kembali menarik nafas dalam.
Entah harus bersyukur atau tidak, tapi Jessa lega saat pria itu bahkan tak memancing keributan disaat moodnya hancur begini.
Jessa ikut menyusul Raka, masuk ke dalam mobil dan duduk diam di samping kursi kemudi. Hanya ada keheningan diantara mereka saat ini, bahkan sampai Raka mengemudikan mobilnya. Meninggalkan area butiknya, Jessa memilih memejamkan matanya dan bersandar di sadaran kursi.
Seharian ini pikirannya melayang ke mana-mana. Tak tentu arah dan terasa panas.
Biasanya, dia bukan jenis wanita lemah. Yang selalu kepikiran dengan masalah yang datang. Bertahun-tahun di abaikan ibu dan keluarganya, Jessa bahkan acuh-acuh saja. Kadang memilih masa bodoh demi kesehatan mentalnya. Setidaknya dia harus tetap waras jika masih ingin hidup di dunia ini.
"Mau makan sesuatu?" Pertanyaan tiba-tiba di sampingnya menarik perhatian Jessa, dia segera membuka matanya dan menoleh ke sumber suara. Jika biasanya Jessa akan senang dengan tawaran pria itu, atau langsung merekomendasikan beberapa restoran yang ingin ia kunjungi akhir-akhir ini. Kali ini ia hanya diam dan menatap lurus pria itu.
Hingga rasa lelah itu kembali hadir dan mencekramnya. Menekan dadanya hingga dia bisa dengan jelas merasakan bagaimana ia lelah saat ini. Ia ingin beristirahat dan juga beranjak. Ia ingin berhenti dan diam. Membiarkan segalanya berjalan sesuai keinginan pria itu.
"Aku belum makan apa pun dari siang." Tambah Raka yang masih menatap ke depan. Sama sekali tidak mempedulikan Jessa yang menatapnya saat ini.
"Aku lapar." Lagi, ia berucap saat masih tak mendengar suara wanita di sampingnya. Begitu ia menoleh, kedua mata mereka bertemu. Membuat Raka bisa dengan jelas menemukan tatapan berbeda wanita di sampingnya.
Sampai. "Kamu mau makan sesuatu?" Tawarnya lagi, untuk kedua kali dalam beberapa menit ini. Entahlah, ia tidak begitu suka melihat wanita di sampingnya, yang biasanya banyak bicara, bercanda dan cerewet, malam ini lebih banyak diam dan tampak enggan melakukan apa pun.
"Kalau kamu mau makan sesuatu, tolong turunkan aku di depan. Aku akan naik taksi."
"Jess-"
"Aku sedang tidak ingin makan apa pun, Raka. Aku juga sudah tidak memiliki tenaga untuk mendebat atau bahkan melawan mu lagi." Tidak memberikan kesempatan pada pria di sampingnya untuk berbicara lebih banyak. Jessa segera memotong ucapan pria itu. "Jadi tolong turunkan aku di depan."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Perfect Bride (SELESAI)
RandomJessa sama sekali tidak bisa menolak begitu kedua orang tuanya memaksanya untuk menikah dengan Raka. Pria dingin tak punya hati yang di jodohkan oleh kedua orangtuanya dengannya. Awalnya semua berjalan lancar. Semua baik-baik saja ketika Jessa yaki...