Pertumpahan darah sepertinya tak bisa dihindari. Sebagai pewaris, aku dilarang keras terlibat dalam rencana mengerikan Catra, namun aku tak peduli. Aku memutuskan untuk mempercepat pernikahanku, dan kemarin malam, aku melangsungkan pernikahan secara sederhana di KUA terdekat. Aku tidak menginginkan pernikahan yang mewah, itu tujuanku. Masalah resepsi akan dilakukan setelah aku dan istriku lulus sekolah. Tentu saja, menikah saat masih sekolah akan mendapat penolakan dari pihak sekolah kami berdua.
Namun, saat ini aku berada di ruang bawah, terkurung oleh ayahku, Oliver. Dia tahu betul jalan pikiranku, jadi dia mengurungku di ruangan gelap ini.
"Membantai seorang pengkhianat adalah hal yang kusukai," ujarku dengan nada datar.
"Kau jangan gegabah, Ello. Kau baru saja resmi menjadi kepala keluarga kemarin malam," ujar Rin.
"Istriku?" tanyaku, sedikit cemas.
"Di tempat aman," jawab Rin.
"Kakak tidak melepaskan diriku?" tanyaku, merasa terpojok.
Setelah acara pernikahanku selesai, Oliver menarikku ke ruangan bawah. Ayahku khawatir aku akan terlibat dalam aksi gila Catra yang berencana membantai Satria di rumahnya. Tubuhku diikat kuat oleh Oliver, dan meskipun aku bisa saja menendangnya dengan mudah, aku memilih untuk menghormatinya.
"Disini saja sampai semuanya selesai," ujar Rin, mencoba menenangkan suasana.
"Apa kakak tidak berniat menikah?" tanyaku.
"Mungkin nanti. Ayah memberi kebebasan untuk memilih jalan hidupku sendiri. Lagipula keluarga sudah memiliki pewaris tetap," jawab Rin.
"Aku benci menjadi pewaris," ucapku dengan berat hati.
"Setiap orang menjalani takdir yang sulit. Aku baru tahu tentang bagian keluarga ini setelah ditemukan ayah," ujar Rin.
Aku penasaran tentang bagaimana Rin dan ayah bertemu. Sejak kedatangannya, aku merasa senang karena memiliki kakak yang bisa diajak berbicara, yang mau mendengarkan keluh kesahku.
"Sedikit lucu menurutku," jawab Rin sambil tertawa kecil.
"Ayo, kak! Aku penasaran!" aku memohon.
"Kau seperti adik kecil yang selalu ingin tahu," ujar Rin dengan senyum meledek.
Aku mendecak kesal, merasa Rin terlalu sering meledekku. Memang, aku memiliki sisi kekanak-kanakan yang muncul karena sejak kecil banyak tuntutan yang harus kupenuhi. Bahkan, aku belum puas bermain dan sudah diminta belajar tentang saham dan berbagai hal dewasa lainnya.
"Aku dan ayah bertemu pertama kali ketika aku bekerja di sebuah kafe. Saat itu, aku menabrak ayah hingga kopi panas yang kubawa tumpah ke kemeja putihnya. Aku minta maaf, tapi ayah malah diam dan menatapku selama beberapa detik sebelum akhirnya pergi begitu saja," cerita Rin.
"Lalu kalian bertemu lagi?" tanyaku.
"Ya, kami bertemu lagi saat ayah mengakuinya sebagai anaknya. Awalnya aku tak percaya, tapi dia menunjukkan surat yang membuktikan bahwa DNA kami 99,9% cocok," jawab Rin.
"Ayah pernah bercerita tentang seorang remaja seusiaku yang mirip denganku, tapi setelah tes DNA ternyata tidak cocok. Padahal saat itu ayah dan bunda tampak bahagia sekali," ujarku.
"Kenapa musuh keluarga berencana menyingkirkan kita dan Aditya?" tanya Rin.
"Mereka ingin membuat keluarga Oliver kehilangan pewaris laki-laki. Keturunan Oliver kebanyakan perempuan, dan itu sudah menjadi tradisi sejak dulu. Bahkan, sebelum kelahiran papi, tante Rina seharusnya yang menggantikan posisi opa buyut Bima, karena tidak ada pewaris laki-laki. Namun sejak kelahiran papi dan daddy, semua hak pewaris jatuh ke tangan papi sebagai anak laki-laki tertua," jelasku.

KAMU SEDANG MEMBACA
Transmigrasi Ello (END)
Fiksi UmumOthello Pranaja Zayan, atau yang lebih akrab dipanggil Ello, adalah seorang pemuda berwajah tegas dengan sifat dingin, minim ekspresi, dan benci terhadap pengkhianatan. Meskipun tumbuh di tengah keluarga yang harmonis, sifat dingin Ello tak pernah b...