"Nggak usah bawa barang banyak-banyak dulu, nanti kalau ada yang ketinggalan kan bisa ambil kesini."
"Iya bu, ini aku cuma bawa barang-barang buat aku kerja."
Aku sedang mempersiapkan barang-barang yang akan aku bawa ke rumah baru ku. Rumah yang akan aku tempati bersama tunangan ku. Aku sangat tidak siap untuk meninggalkan rumah ini, apalagi meninggalkan kamar ku. Kamar yang sudah aku tempati sejak kecil, kamar ini sudah menjadi saksi banyak hal. Mulai dari hari dimana aku pertama kali ditolak oleh perempuan kesukaan ku sewaktu SMP, yang berakhir dengan aku menangis semalaman. Hingga malam dimana aku hampir bunuh diri akibat judul skripsi ku yang tak kunjung disetujui oleh dosen pembimbing ku. Kamar ini juga menjadi saksi betapa gilanya aku saat aku jatuh cinta pada perempuan yang kini menjadi tunangan ku. Malam-malam dimana aku menonton live showroom nya, melempar-lempar gift kepadanya, hingga aku ngomong sendiri saat melihat tingkahnya.
Kini aku duduk di pinggir kasur yang menjadi tempat tidurku selama kurang lebih 20 tahun. Aku sepertinya akan rindu bau kasur ini, bau liur bercampur keringat ku sendiri. Mungkin bukan hanya bau kasur ini, tapi seluruh ruangan ini. Dalam hati ku yang paling dalam aku berharap bisa kembali menempati kamar ini. Namun kalau aku kembali kesini, artinya pertunangan ku dengan Lulu artinya sudah gagal.
"Udah selesai packing barangnya?" Ayahku tiba-tiba muncul dari arah pintu.
"Udah, tinggal dibawa."
"Haah, akhirnya anak ayah nggak jomblo lagi. Mulai nanti malem tidur ada yang nenenin, eh maksudnya nemenin."
"Hush! Jorok!" Ucap ibuku sambil mencubit lengan ayah. Aku hanya bisa tersenyum mendengar ucapannya, sepertinya harapan ayah terlalu tinggi.
"Baik-baik ya kamu sama dia, dijaga dia, sekarang dia calon istri kamu. Semoga kalian bisa lanjut ke jenjang selanjutnya, ini wasiat dari kakek kamu juga kakeknya Lulu, kamu kan juga udah denger ceritanya kemarin. Jadi jalani aja dulu ya Dim."
"Iya bu, Tapi Dimas mau sesuai dengan kesepakatan yang kita bikin. Aku nggak mau maksain kalau memang kita nggak cocok."
"Pasti cocok! Kenapa kamu sama Lulu yang dipilih ya karena kita liat kalian yang paling cocok." Balas Ayah. Aku tidak tahu kapan mereka menentukan aku dan Lulu yang menjadi tumbal perjodohan ini, jangan-jangan saat mereka pergi beberapa waktu yang lalu?
"Nyocokinnya dari mana deh, bisa tau-tau bilang cocok." Aku tekekeh mendengarnya, jangan bilang mereka menentukannya dari horoskop, primbon, rasi bintang atau MBTI. Kalau sampai mereka menyebutkan salah satunya saja, aku pergi sekarang juga.
"Ya kan pakde mu bisa baca primbon–"
"Oke yah, bu. Aku langsung jemput Lulu ya, nanti aku balik lagi kalau ada yang ketinggalan. Dadah." Aku mengambil barang-barangku dan langsung bergegas ke parkiran. Aku tidak perlu mendengarkan penjelasan ayah lebih jauh. Primbon? Terimakasih karena telah menentukan masa depanku menggunakan pseudoscience seperti itu. Ya tuhan, kenapa sih hidupku gini amat sekarang.
—
"Kak, kamu udah siap?"
"Udah mah, tolong bantuin aku bawa barang kebawah dong!"
Seperti ini ya jadinya? Mulai besok aku tidak bisa menatap diriku lagi di cermin ini. Terlalu lama aku menatap diriku sendiri di cermin ini, hingga aku tersadar kalau rambutku semakin panjang. Aku ingat pertama kalinya aku memotong rambutku begitu pendek, hingga aku menangis karena bingung harus bilang apa ke kakak staff di JKT. Untung saja kakak-kakak staff di JKT sangat handal, mereka bisa merubah rambutku yang tadinya 'hancur' menjadi 'tidak buruk juga'. Semenjak saat itu, aku bersumpah untuk tidak mencoba-coba memotong rambut tanpa saran dari staff disana. Dan cermin ini menjadi saksi, ketika aku mengutuk diriku sendiri akibat rambut yang terlalu pendek itu.