Shit, shit, shit! Aku harus kemana sekarang?! Jam segini seharusnya dia sudah di teater, tapi apakah dia sudah berangkat? Aku benar-benar bingung, setengah jam aku hanya berkutat di ponselku yang baru menyala setelah tadi mati karena baterainya habis. Kenapa aku bisa melupakan ini, padahal biasanya aku paling anti melihat baterai ponselku berada di bawah 10 persen. Saking asyiknya mengobrol dengan Chika, aku melupakan hal-hal yang penting di hidupku. Kenapa aku begitu antusias berbicara dengan Chika? Apa karena akhirnya aku memiliki seseorang yang mau mendengarkan keluh kesahku, disaat tunanganku sendiri sedang tidak mampu mendengar ceritaku? Itu sebenarnya keputusanku sendiri, membiarkan dia untuk menyelesaikan masalahnya dulu dan tidak menambah pikirannya dengan masalahku. Tapi, akibatnya aku memendam itu semua sendirian. Dulu sih sudah biasa juga seperti itu, namun semenjak ada dia aku jadi tidak bisa menampung keluh kesahku sendirian.
"Ayo dong, angkat Lu!"
Satu kali, tidak ada tanggapan. Dua kali, masih belum. Apa jangan-jangan dia sudah berada di atas panggung? Coba sekali lagi, tidak ada juga. Aku benar-benar menyerah, sudah bisa dipastikan kalau dia sekarang sudah berada di lokasi. Aku sekarang punya dua pilihan, pulang atau menjemputnya kesana. Kalau aku kesana, apa aku harus menunggu di titik biasa penjemputan? Ah, aku harus mencobanya. Kalau tidak, mungkin aku akan kehilangan satu lagi kesempatan untuk memperbaiki hubungan kami. Dengan cepat aku memacu kendaraanku, namun ternyata tidak bisa. Jalanan sangatlah padat, padahal ini sudah menunjukkan jauh jam pulang kantor. Rasanya mobil ku hanya bergerak satu inci setiap menit, sedangkan dari kantor ku menuju teaternya agak jauh.
Berkali-kali aku menghantamkan kepalaku ke setir mobil, aku benar-benar kehabisan akal sekarang. Bagaimana aku bisa sampai kesana tepat waktu? Kenapa aku bisa melupakan janji penting yang aku buat dengan Lulu? Pertanyaan yang sama terus menerus berulang di kepalaku, kenapa, kenapa, dan kenapa?
Setelah berjam-jam terjebak dalam kemacetan, akhirnya aku sampai di Mall tempatnya bekerja. Terlihat Mall sudah sepi, hanya ada beberapa orang yang sedang duduk-duduk di lobby Mall. Aku segera menuju ke parkiran basement, titik dimana aku biasa menjemput Lulu. Bukannya menelpon dirinya, aku malah turun dan mencari dirinya ke tempat kerjanya. Dengan penyamaran seadanya, aku masuk ke Mall yang sepertinya sudah tutup. Aku sudah biasa kesini saat hubungan kami belum ketahuan, tentu untuk menjemputnya.
"Loh, Kakak tunangannya Lulu kan?"
Kalimat itu mengagetkan diriku, aku berpapasan dengan seorang wanita berkacamata yang mulutnya ditutup oleh masker. Dia memiliki rambut coklat sebahu, pipinya yang chubby membuat dia tampak begitu menarik. Aku sempat terpana melihatnya, hingga akhirnya dia menyadarkanku dengan menepuk bahuku. Saat dia membuka maskernya baru aku mengetahui dia siapa. Dia adalah Oniel, salah satu teman Lulu. Aku pernah melihatnya, namun tidak pernah sedekat ini karena memang Lulu menyuruhku untuk menjaga jarak dari semua kegiatannya.
"E-eh... i-iya bener, aku nyari Lulu. Dia udah pulang?"
"Udah dari tadi sih, Kak. Lah, aku kira dia pulang sama Kakak?"
"Ha? Nggak, aku baru sampai kok."
"Ohh, dia udah dari tadi sih Kak."
"Aduh..." Sialan, aku terlambat lagi. Aku hanya bisa menggaruk-garuk kepalaku, harus apa lagi sekarang aku? Aku terduduk di lantai mall kebingungan, Oniel hanya terdiam melihatku yang kebingungan.
"Aku sebenarnya kaget sih, pas tau ternyata Lulu udah punya tunangan." Ujarnya, membuka pembicaraan kami.
"Ah, iya kah?"
"Iya, soalnya dari dulu kita tau Lulu anaknya golden rules banget, hahaha!"
"Yah, namanya juga dijodohin..."