keeping tabs

305 21 2
                                    

"Lo kenapa tiba-tiba diem gini deh?"

"Nggak apa-apa."

Pemandangan yang kusaksikan sendiri barusan, benar-benar melukai hatiku. Aku kira selama ini, tidak ada satu hal pun yang dia sembunyikan di balik diriku. Ternyata ada, dan hal itu sangat membuatku kecewa. Kalau memang itu alasan dia tidak mau menerima perjodohan ini, kenapa tidak bilang dari awal padaku? Kenapa dia malah membuka pintu hatinya untukku, dan membiarkan aku masuk kalau ternyata di dalamnya sudah ada penghuni lain? Kekecewaan yang aku rasakan saat ini begitu besar, bahkan aku belum pernah merasakan hal ini sebelumnya.

Aku berusaha menyingkirkan rasa kecewa ini, dengan berusaha berpikir positif. Siapa tahu, itu adalah rekan kerjanya di sana. Dia sendiri yang berkata kalau banyak staf disana yang seumuran denganku dan dengannya juga, tapi kenapa mereka hanya berduaan saja? Kenapa pula, Lulu mengiyakan ajakannya untuk makan siang berdua saja? Berusaha untuk berpikir positif pun percuma, karena ujung-ujungnya akan ada pertanyaan lain yang muncul dan justru memperparah kekacauan yang sedang aku rasakan saat ini.

Di kantor, aku kembali berusaha menggeser rasa penasaranku dengan pekerjaan. Namun tidak bisa, sebanyak apapun aku berusaha menimbun diri dalam pekerjaanku, yang ada malah pekerjaan itu yang tidak selesai. Ujung-ujungnya malam ini aku harus lembur untuk menyelesaikan pekerjaanku, yang artinya aku tidak bisa menjemput Lulu malam ini. Baguslah, entah mengapa aku rasanya malas melihatnya. Kecewa yang aku rasakan benar-benar mengubah perasaanku 180 derajat kepadanya saat ini. Tepat saat aku sedang berpikir untuk mencari alasan untuk tidak menjemputnya malam ini, dia duluan yang menghubungi diriku untuk menanyakan hal yang sama.

"Bisa jemput?"

"Maaf, kayaknya nggak bisa."

"Okey, aku pulang sendiri ya."
"Kamu udah makan malam? Perlu aku masak di rumah?"

"Udah, nggak perlu masak."

"Okey, love u."

Pesan terakhirnya, aku tak mampu membalasnya. Hingga aku tahu kebenarannya soal apa yang aku lihat tadi siang, mungkin aku tidak bisa mengucapkan hal itu kepadanya. Buat apa aku mengatakan aku mencintainya, kalau sebenarnya yang aku rasakan tidak? Buat apa juga dia mengatakan itu, kalau sebenarnya bukan aku saja yang dia sayangi? Semakin penuh dengan hal-hal buruk yang membuatku takut dan marah, akhirnya aku memutuskan untuk mengakhiri hariku. Aku segera beres-beres dan keluar dari ruanganku, saat aku turun ke lift mataku melihat ada sosok yang familiar sedang berdiri di lobby sendirian.

"Chik?" Panggilku, dan wanita itu menoleh. Benar kan, itu adalah Chika.

"Oh, hai Dim. Baru turun?"

"Iya, tumben belum pulang?"

"Lah, tadi kan aku ada meeting sama client dan baru selesai. Didn't I already tell you that?"

"Oh, iya-iya. Sorry, lupa."

"Hahaha, it's okay."

"Terus, kenapa diem disini?"

"Waiting for my ride."

"Mobil kamu..."

"Lagi di bengkel, biasalah mobil tua."

"Mau bareng?"

"Umm... nggak usah, ngerepotin."

"No, it's okay. Belum nyari taksi nya kan?"

"Belum sih... how about your fiancé?"

"Hah? Hubungannya?"

"Memang nggak apa-apa, kamu nganter perempuan lain?"

"Ah, it's okay. Aman kok."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: a day ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BlåvingadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang