"Dimas… bangun…" sebuah suara yang begitu lembut masuk ke dalam gendang telinga ku. Ku buka mataku perlahan, sinar matahari sudah terlihat menembus jendela. Kini di hadapanku ada wajah seorang bidadari, bidadari itu memiliki tahi lalat di samping mata kanannya. Entah mengapa tanganku bergerak memegang pipi nya yang halus, walau agak sedikit bruntusan, namun wajar mengingat betapa seringnya dia harus menggunakan makeup yang agak tebal.
"K-kamu ngapain?" Tanya bidadari tak bersayap itu, sambil ia menggenggam tanganku. Pertanyaannya menyadarkanku, aku tarik tanganku dari pipi nya.
"Kamu mau sarapan apa?" Tanyanya lagi.
"Apa aja, yang penting tangan kamu yang buat."
"Masih pagi, nggak usah gombal." Ia menyentil dahi ku, aku terkekeh melihat responnya. Lulu meninggalkan aku yang masih tertidur di sofa, untuk kembali ke dapur. Aku bangun dan kemudian mengikutinya dari belakang. Kulihat dia sedang membuat sandwich untuk sarapan pagi nya.
"Aku mau juga dong." Pintaku.
"Boleh, mau sapi atau ayam?"
"Ayam deh."
"Oke, ditunggu ya pak." Ucapnya. Ia mulai mempersiapkan pesananku, kulihat tangannya begitu lihai dalam membuat sandwich untukku. Aku awalnya berpikir ia tidak bisa apa-apa, selain menari dan bernyanyi. Ternyata dia cukup pandai memasak, jika dia tidak ada kegiatan latihan dia akan memasak di rumah. Mungkin apa yang dia masak bukan sesuatu sulit atau mewah, tapi masakan yang dibuatnya tidak pernah membuatku kecewa soal rasanya.
Oh iya, kini sudah genap 1 minggu aku tinggal bersamanya. Dan sampai sekarang, aku masih belum tidur satu kamar dengannya. Ia sempat memaksaku untuk mencoba membiasakan diri tidur satu ranjang dengannya, namun aku malah kabur saat tengah malam dan kembali tidur di sofa. Ada perasaan aneh setiap kali aku berusaha tidur dengannya, padahal aku suka melihat wajahnya ketika ia sedang tidur.
Ia menaruh sandwich telah selesai diracik di meja makan. Aku masih terpaku di dapur, dulu biasanya aku mengumpulkan nyawa terlebih dahulu sambil membuat sarapan. Kini sarapanku dibuatkan oleh seseorang, jadi aku hanya bengong mengumpulkan nyawa di dapur.
"Oi! Ngapain bengong? Itu udah jadi sarapan kamu." Lulu menyentil pinggangku, mengganggu waktu pengumpulan nyawaku. Aku ikut bersamanya duduk di meja makan, aku ambil satu potong sandwich tersebut dan memakannya. Seperti yang aku bilang tadi dia memang jarang memasak sesuatu yang sulit atau mewah, tapi apapun yang dia masak rasanya tidak pernah mengecewakan.
"Enak nggak?" Tanyanya.
"Enak sayang." Balasku.
"Dih?! Tumben pakai sayang?" Lulu tersenyum mendengar aku memanggilnya dengan 'sayang'. Selama kami menjalin hubungan ini, kami selalu memanggil dengan nama satu sama lain. Entah dengan memanggilnya 'sayang' ini bisa dibilang sebuah kemajuan atau kemunduran, namun dilihat dari respon Lulu sepertinya ini sebuah kemajuan.
"Ng-nggak apa-apa kan?"
"Hmm… nggak apa-apa sih, justru bagus." Jawabnya.
"Bagus?"
"Iya, bagus kan? Artinya kamu sayang sama aku?" Ucapnya, sambil terus menyantap sandwich yang ia buat.
"Iya sih…"
"But, do you feel the same?" Tanyaku. Membuatnya menghentikan kunyahan yang sedang ia lakukan, lalu tersenyum.
"Aku pikir, hidup sama kamu nggak buruk-buruk banget." Mendengar jawabannya seolah memberikan aku sedikit harapan soal hubungan ini. Kalian tahu kan, betapa pesimisnya aku soal perjodohan ini. Namun seiring waktu berjalan, sepertinya perjodohan ini tidak buruk-buruk banget. Mungkin memang memangkas waktu dari targetku untuk menikah, tapi kalau memang seperti ini jalannya ya apa boleh buat.
