💌Bukan sembarang uang💌

111 36 8
                                    



Bismillahirrahmanirrahim. Selamat membaca




💌💌💌



Netra kecoklatan itu masih terus berpendar. Menyiratkan ada letupan kebahagiaan dalam hati yang tak dapat lagi dijabarkan. Sembari membuang wajah, ia benahi letak kerudungnya yang mungkin saja tadi sedikit ambruk karena sentuhan angin.

Aira masih diam menunggu. Apa kiranya sesuatu yang akan dibicarakan oleh Ustaz Fadly. Seumur-umur, selama memutuskan untuk menaruh hati pada pria yang belum mengenal dirinya secara mendalam itu. Tak pernah terpikirkan akan merasakan kedekatan seperti ini. Apalagi tadi? Ustaz yang sangat populer di kalangan ustazah dan nawaning itu menyebut namanya dengan sangat jelas.

Ah, Rabbi. Tolong pindahkan samudra paling luas di dunia ini di depan remaja itu sekarang agar bisa menenggelamkan diri sampai ke dasar untuk menyembunyikan rona merah di wajahnya.

Selagi Aira siap mendengar apa yang bakal Ustaz Fadly utarakan, alih-alih sebuah kalimat cinta atau minimal kata ta'aruf yang ia dapati. Justru puncak kepalanya kini seperti dipukuli oleh ranting ringan entah dari mana. Hingga ia meringis menahan sedikit ngilu.

"Bocah gendeng! Mringas-mringis koyok wong gendeng anyaran!"

"Hah?" Aira mendapati kembali kesadarannya begitu ia bersitatap dengan Lek Khudori yang melototkan mata ke arahnya. Sontak saja Aira berjingkat dan memundurkan diri sampai ke tembok.

"Lek! Ih, ngapain kayak gitu?"

"Kamu itu yang kenapa? Lekmu sudah dari tadi ngajak ngomong malah mesam-mesem koyok wong gendeng!" Selagi Aira diomeli oleh pamannya. Keysa justru terpingkal saja melihat kejadian menggelikan beberapa saat lalu.

Aira memilih mengedarkan pandangannya. Menyapu seluruh isi ruang tamu yang rupanya hanya sedang ditempati oleh mereka bertiga. Tentunya ia mencari-cari kemana sosok Ustaz Fadly yang tadi terbayang jelas ada di depannya. Dengan tampang menawan memakai busana yang sangat pantas untuk menunjang wajah rupawannya.

"Astaghfirullaladzim. Setan mana yang udah berani mengelabuhiku?" lirihnya dalam hati

"Biasa, Lek. Dia lagi halu."

"Apa iku?" Lek Khudori yang berjanggut tipis dengan kopyah yang sedikit melorot ke belakang tersebut menoleh serius ke arah Keysa.

"Halusinasi. Ya tanda-tanda orang mau menyandang penyakit jiwa karena terlalu dalam jatuh cin—-" belum juga Keysa merampungkan ocehannya. Mulut miliknya dengan cepat disumpal oleh sebuah sedotan yang tertancap ke air minum kemasan.

Pelakunya tentu saja Aira yang tak mau jika rahasia hatinya sampai diketahui oleh Lek Khudori. Pamannya itu abdi ndalem. Serawungannya para pengurus dan keluarga Kyai. Bagaimana jika sampai Lek Khudori tahu akan hal itu lantas dibeberkan dengan mudahnya pada Ustaz Fadly. Tidak menutup kemungkinan, Lek Khudori pasti akrab juga dengan dambaan hatinya itu. Ustaz Taufiqurrahman Fadly.

Kekacauan akibat halusinasi Aira yang terbang terlampau tinggi diakhiri dengan makan-makan cukup enak. Lek Khudori katanya baru saja mendapat rejeki berupa upah dari Kyai Zarkasyi karena hampir seminggu ini mengantar beliau pergi ke tempat-tempat kajian maupun undangan walimahan.

Pecel lele dengan sambel beserta lalapannya sudah tandas begitu saja oleh mereka bertiga. Bagi Lek Khudori, Aira tak hanya keponakannya saja. Gadis remaja itu juga bisa menjadi sosok teman sekaligus  musuh. Namun, yang paling berarti adalah Aira sudah ia anggap sebagai anak yang harus ia jaga. Amanah dari almarhum kakak iparnya akan ia penuhi sebaik mungkin. Lek Khudori bertanggung jawab penuh kepada Aira selama menimba ilmu di pesantren ini.

ORIGAMI CINTA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang