💌Seuntai kata maaf💌

101 17 4
                                    






💌💌💌

Desau angin malam yang membelai halus pipinya rupanya berhasil mengembalikan kesadaran Aira malam ini. Saat ia ingin menjawab pertanyaan dari Ustaz Fadly barusan, tak ia dapati sosok yang tadi menyebut nama pena dirinya tanpa ragu.

Kepala gadis itu menoleh ke kanan, lalu ke kiri. Di mana laki-laki dewasa yang sukses mencuri kesadaran dirinya tadi? Aira tidak menemukan Ustaz Fadly maupun Kang santri yang membersamai laki-laki tersebut.

“Astaghfirullah, hampir aku panggilin pengurus, Ra. Aku kira kamu kerasukan jin wilayah sini.” Suara Mbak Bida menarik perhatian Aira yang sejak tadi masih kebingungan mencari di mana keberadaan Ustaz Fadly.

“Emang aku kenapa, Mbak?” Aira malah bertanya bingung.

“Kamu diem terus. Kayak orang kesambet. Mata kamu bahkan nggak kedip.” Perempuan yang lebih tua sekitar 5 tahun dari Aira itu membeberkan fakta tentang kondisi dirinya beberapa menit yang lalu.

Setelah mengembuskan napas sebentar, Mbak Bida berucap lagi,” Sampe nggak enak aku sama Kang Fadly. Kamunya ditanya malah diem, Ra.” Fakta berikutnya reflek membuat Aira sedikit berjengit. Ia berpikir apakah sikapnya tadi sudah sangat keterlaluan karena mengabaikan pertanyaaan dari Ustaz Fadly. Meskipun laki-laki itu sudah mantap terpatri dalam hati, tidak menutup fakta jika sosok Ustaz Fadly adalah salah satu seorang pengajar yang harus disegani. Apalagi beliau lebih tua dari Aira. Seharusnya ia lebih memperhatikan adabnya terlepas bagaimana status Ustaz Fadly dalam hatinya.

Padahal ia juga tahu salah satu adab terhadap orang yang lebih tua adalah mendengarkan ketika mereka berbicara. Benar Aira mendengar saat Ustaz Fadly bertanya mengenai nama penanya tadi. Lantas, yang menjadikannya ia keliru adalah dengan mengabaikan pertanyaan tersebut. Bisa saja jika ia tidak berkenan untuk menjawab, maka bisa langsung meminta maaf dengan sopan.

“Mbak.” Aira mendekat pada Mbak Bida. Merangkul pelan lengan perempuan itu.

Dengan wajah khawatir ia bertanya,”Apa … kemungkinan beliau marah?” Aira berharap mendapatkan jawaban ‘tidak’ dari Mbak Bida.

“Hmm. Marah sih sepertinya nggak. Cuma kurang sopan aja. Beliau kan juga salah satu muallim di pesantren ini, Ra. Tapi Ustaz Fadly tadi langsung pergi gitu aja karena mungkin kelamaan nungguin kamu jawab pertanyaannya.”

Wajah Aira semakin terlihat lesu mendengar penjelasan tersebut. “Coba misal kamu tanya sama orang terus diabaikan gitu aja nggak dijawab-jawab? Jengkel, kan?” lanjut Mbak Bida yang semakin membuat Aira merasa bersalah. Pasalnya ia tadi bukan sengaja bersikap demikian, akan tetap reflek saja jika berhadapan langsung dengan Ustaz Fadly akan seperti itu. Terpaku di tempat hingga kesadarannya hampir menjadi sasaran empuk para makhluk halus.

Mbak Bida menepuk pundak Aira pelan lantas mengajak berjalan ke luar area kantor madrasah.

“Ya wes, lain kali jangan diulangi ya, Ra. Jadikan kesalahan hari ini sebagai sebuah pelajaran. Memang tidak ada manusia yang benar-benar bersih tanpa melakukan kesalahan. Terlepas itu seorang santri atau orang yang paham agama sekalipun.”

Syukurlah Aira bisa mendapat tim yang tak hanya gila akan senioritas. Melainkan juga membantu mengingatkan dirinya saat salah dengan cara yang tidak menghakimi sama sekali.

“Iya, Mbak. Pasti nggak aku ulangi lagi.”

“Tapi, Mbak….”

“Apa, Ra?” Rangkulan tangan Aira pada lengan Mbak Bida semakin menguat tatkala mereka hendak menyebrangi jalan. Dalam hati ia sempat memuji keahlian Mbak Bida dalam memilih jalan yang sedang padat akan kendaraan besar. Sedangkan dirinya merasa was-was.

ORIGAMI CINTA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang