💌Di bawah atap yang sama💌

115 34 9
                                    








Bismillahirrahmanirrahim.Selamat membaca

💌💌💌

Jadi, saat Ustaz Fadly tadi berbicara tentang jin muslim yang ada di sekitaran gedung As-Shofa. Yang mana gedung itu dulunya bekas dari padepokan yang pertama kali didirikan oleh Mbah Kyai Zubair, bukanlah bualan atau hanya untuk menakut-nakuti Aira. Kenyataan itu benar adanya. Santri-santri ghaib itu bahkan bisa mengkhatamkan Al-Qur'an hanya dalam beberapa jam. Dan setiap harinya, mereka juga ikut menghafal semua nadhom-nadhom yang diajarkan di pesantren tersebut.

Tubuh Aira lantas berjingkat saat seseorang menepuk pundaknya pelan. Ia mendapatkan kesadarannya kembali.

"Anggota baru mading, kan, sampeyan?"

"I-iya, Mbak. Benar."

"Ayo, masuk bareng aku!" Aira cukup lega. Meskipun ia belum mengenal perempuan dengan seragam yang sama dengannya itu, ia menurut saja untuk digandeng masuk ke dalam salah satu ruangan di gedung As-Shofa.

Aira berjalan di belakang perempuan itu. Bahkan saat Ustaz Fadly berbicara padanya tadi, ia hanya menganggap sebagai tiupan angin di musim hujan. Sejuk, hingga membawa kesadarannya terbang tak terbatas.

Melirik sekilas pada deretan santri putra, ia mendapati sosok Ustaz Fadly yang sedang membaca sesuatu dalam lembar kertas. Wajahnya yang tenang, tetapi menampilkan fokus tinggi membuat Aira tersadar kembali siapa laki-laki yang selama ini ia kagumi.

"Jangan dilihatin terus, Ning Bila. Nggak bakal ke mana-mana kok Kang Fadly-nya." Kepala Aira spontan menoleh ke sebelah kanan. Di mana seorang perempuan dengan dua ceruk di pipi itu tersenyum hangat saat nama Ustaz kesayangannya disebut. Dia Ning Syabila. Abahnya dulu merupakan sahabat karib dari Kyai Zamzami. Usianya memang dua tahun di atas Aira. Namun, perawakannya yang tinggi dan ber-body goal. Membuatnya sedikit terlihat lebih dewasa.

Lalu yang menjadi pertanyaan Aira. Mengapa Ning Bila juga ikut dalam acara ini?

Merasa terabaikan dan tak ada teman bicara karena ia satu-satunya anggota mading dari santri kemenag, ia menjadi canggung meskipun sudah mencoba beradaptasi dengan suasana ini. Aira tak pandai berbasa-basi. Jadi, saat tidak ada yang menanyai ia hanya mengambil sikap diam.

"Tetap Ustazah Naura yang jadi pemenangnya. Yakin sama aku, Zah. Ning Bila kalau disandingkan sama Kang Fadly masih terlalu jauh. Usianya juga muda banget." Tepat di belakangnya kasak-kusuk itu terdengar. Apalagi ini? Kenapa dua rivalnya turut serta dalam acara diskusi. Padahal setahunya, mereka tidak menjadi anggota crew mading. Malahan Mbak Bida sebagai ketuanya tidak terlihat sama sekali.

"Maaf, Mbak Bida ndak datang, ya?" Kali ini Aira memberanikan diri bertanya pada santri di belakangnya. Ia tahu perempuan yang menempel pada Ustazah Naura itu adalah Nisma salah satu crew Al-Farabi magazine.

"Oalah, Dik Aira to. Aku kira siapa tadi datang telat. Iya, Mbak Bida izin mendadak. Soalnya ada keluarga yang masuk rumah sakit."

"Ya Allah. Pantesan aku tunggu-tunggu ndak muncul tadi." Sebenarnya Nisma sudah diamanahi oleh Mbak Bida untuk menjemput Aira di gedung Al- Marwah. Hanya saja perempuan itu lebih memilih membersamai Ustazah Naura yang berpapasan di halaman pesantren putri tadi.

"Iya, jadi Mbak Bida diwakilkan oleh Ustazah Naura sebagai ketua mading putri." Aira hanya manggut-manggut saja. Hatinya sedikit terusik saat berada di satu tempat dengan dua perempuan yang terkenal menggandrungi Ustaz Fadly itu.

Tidak lama kemudian acara diskusi dimulai. Ustaz Fadly yang baru saja selesai membacakan susunan acara dibuat sedikit terperanjat saat mendapati manekin hidup sudah ada di dalam ruangan itu.

ORIGAMI CINTA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang