💌Harga segenggam abu💌

131 39 15
                                    



Bismillahirrahmanirrahim. Selamat membaca.




💌💌💌

Langit malam masih diramaikan oleh bintang-bintang yang kian berserakan. Sebagian bintang menampakan kerlingan indah saat suara lalaran yang dilakukan serempak oleh para santri bagian anak-anak mengalun merdu.

Usia mereka masih terbilang sangat muda untuk hidup mandiri serta jauh dari orang tua. Sebutan santri anak-anak dikhususkan untuk para santri dari kelas TK sampai kelas 6 ibtidaiyah. Dan itulah mengapa, saat tidak ada orang tua yang mendampingi tumbuh kembang mereka. Di pesantren Syifaul Qolbi putra maupun putri tentu disediakan bapak atau ibu asuh untuk mereka.

Supaya tetap mendapatkan pengawasan yang layak meskipun tidak didampingi orang tua secara langsung.

Suara lalaran nadhom alala yang terdengar dari komplek Al-Farabi tadi perlahan memelan. Menandakan bahwa waktu istirahat sudah hampir datang. Lain halnya dengan santri yang lain, mereka masih menyibukkan diri dengan murojaah, matlaah, atau yang sering dilakukan menjelang pukul sepuluh malam adalah memenuhi pancuran untuk mencuci pakaian.

"Tidak ada yang mau menjawab?"

Tiga santri yang tengah menunduk di hadapan sang keamanan pesantren putra itu makin gemetar. Mereka semakin tak memiliki nyali walaupun sekedar menggerakkan kaki yang kian kesemutan sebab terlalu lama berdiri di depan markas besar kepengurusan.

Jika sudah berhadapan dengan laki-laki besar dan berkulit kecoklatan yang menjabat sebagai pengurus keamanan itu. Mental mereka amat sangat dipertaruhkan. Antara tetap bertahan di pesantren atau besoknya langsung boyong dari sana.

"Siapa yang sudah ghosob sandalnya Gus Fihriz?" Di lain sisi, tak ada satu santri pun yang berniat membela. Mereka hanya bisa menaruh simpati serta prihatin. Namun, tetap saja setiap pelanggaran di pesantren tentu akan mendapatkan ganjarannya. Terlebih salah satu diantara mereka sudah berani meng-ghosob sandal milik salah satu putra Kyai Zarkasyi.

"Kalau nggak ada yang ngaku-" Kang Nur, nama pengurus keamanan tersebut menjeda ucapannya sebentar. Beranjak pada gotakan kecil untuk mengambil pecut rotan yang seketika membuat santri remaja itu ketakutan.

Ketiga-tiganya masih mencoba bungkam. Satu diantaranya mengaku dalam hati bahwa tadi ia yang sengaja memakai sandal milik Gus Fihriz tanpa izin. Namun, untuk mengungkap kebenaran nyalinya seolah lebih dulu menguap setelah melihat pecut itu mulai digerakkan pelan oleh Kang Nur.

Siapapun tahu, semua santri yang melanggar memang tidak ada yang sampai kena sentakan pecut tersebut. Pengurus hanya menggertak supaya cepat mendapat pengakuan dari tersangka. Namun, berbeda lagi dengan pelanggaran mencuri ataupun berhubungan dengan lawan jenis. Semua para pengurus akan turun tangan. Memberi hukuman dengan menggunduli rambut sampai disiram dengan air kulah. Dan yang paling parah dikeluarkan dari pesantren secara tak hormat.

Belum sampai salah satu dari mereka membuka suara untuk mengakui kesalahannya. Dari arah lorong yang menghubungkan antara bilik-bilik santri dan ruang kelas diniyah. Seseorang berseru,"Tidak perlu seperti itu,Kang. Sampun, biarkan mereka mendapat takziran yang lain."

"Tapi mereka sudah berani memakai sandal jenengan tanpa izin, Gus." Gus Fihriz yang menghampiri sang keamanan itu bersama satu sosok laki-laki di sebelahnya hanya mengangkat sebelah tangan. Menandakan agar dia menyudahi keributan.

"Wes, sudah saya maafkan. Tapi, berikan hukuman lain saja ke mereka. Sudah hampir jam istirahat keluarga ndalem, Kang. Khawatir ganggu Abah dan Umi tidur nanti." Keberuntungan hari ini sepertinya tengah berpihak kepada tiga santri yang tampak mulai berani sedikit mendongakkan kepala.

ORIGAMI CINTA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang