Satu

106 6 0
                                    

BEL tamu berbunyi tiga kali. Jam dinding baru saja berdentang sembilan kali. Rumah indah berhalaman hijau rumput lembut itu terkesan sepi. Sang tamu yang ada di luar pagar belum mau pergi. Ia yakin si pemilik rumah ada di rumah, sebab ia melihat mobil BMW kuning menyala masih ada di dalam garasi.

Pintu garasi terbuka sedikit, menandakan masih akan ada orang yang menuju garasi untuk menutupi pintu tersebut. Seorang perempuan berusia 40 tahun keluar dari dalam garasi. Perempuan berkebaya dengan badan sedikit gemuk itu menuju ke pintu pagar. Ia menemui sang tamu yang ternyata adalah seorang pemuda berambut panjang sebatas punggung dan agak ikal. Pemuda itu baru saja turun dari mobilnya yang terkesan butut, tapi masih lumayan.

"Saya mau bertemu dengan Mbak Mala. Apakah beliau ada di rumah?"
Sambil membuka pintu pagar, perempuan yang menjadi pelayan setianya Kumala Dewi itu menjawab dengan senyum ramah agak dipaksakan.

"Kebetulan Non Mala ada di rumah. Silakan menunggu di teras."

Pemuda berperawakan sedang, tak terlalu gemuk namun juga tidak kurus itu, duduk di kursi tamu yang ada di teras. Mak Bariah bergegas masuk untuk memberitahukan kedatangan tamunya kepada Kumala Dewi.

Teras yang bersih, terang dan berkesan nyaman itu, mendadak berubah suasana menjadi menyeramkan. Pemuda itu bergidik, bulu kuduknya meremang merinding. Hatinya berdebar-debar cemas. Perasaan takut itu timbul setelah ia menghirup bau wewangian aneh. Ia mengenali wewangian itu berasal dari asap kemenyan.

"Sialan! Belum-belum sudah bau kemenyan. lih, jangan-jangan di sekitar sini ada roh halusnya? Atau... atau teras ini pernah dipakai bunuh diri oleh seseorang dan... dan roh mayat itu masih ada di sekitar sini?!"

Sang tamu bergeser tubuhnya ke arah pintu masuk. Maksudnya, sewaktu-waktu muncul sesuatu yang menakutkan, ia bisa lari masuk ke ruang tamu sambil berteriak-teriak meminta tolong si pemilik rumah.

"Gawat! Baunya makin tajam?! Aduh, kenapa Mbak Kumala nggak keluar-keluar, ya? Jangan-jangan pelayan wanita tadi bukan manusia sebenarnya?Jangan-jangan dia manusia jelmaan? Aduh, aku jadi curiga, jangan-jangan aku salah masuk, bukan ke rumah Mbak Kumala tapi ke rumah... ke rumah... oh, apa itu?!"

Pemuda berkulit sawo matang dan berhidung mancung itu menatap ke satu arah dengan pandangan mata menjadi tegang. Arah yang ditatapnya itu adalah salah satu tiang penyangga atap teras. Tiang yang ada di sudut itu tampak bergerak-gerak. Seperti mau jebol. Tentu saja jantung pemuda itu juga merasa seperti mau jebol karena berdetak sangat kuat dan cepat.

"Seperti ada yang ingin keluar dari dalam tiang itu?!" gumamnya dalam hati.

Keringat dinginnya mulai membasahi kening dan leher. Makin lama tiang tersebut semakin bergerak-gerak secara nyata. Kapur dan bebatuannya mulai retak. Mata pemuda itu makin mendelik. Dan tiba-tiba dari dalam tiang itu keluar sepotong kepala secara menyentak, sangat mengejutkan dan menakutkan.

Bruuus...!

"Aahhhkk...!" Pemuda itu melompat dengan suara pekikan tertahan. Ia tak mampu bergerak. Hampir saja jatuh. Untung kedua tangannya buru-buru berpegangan pada sandaran kursi. Ia hanya sempat berlutut, karena memang lututnya terasa lemas.

Kedua kakinya bagaikan tak bertulang lagi. Kepala yang tersembul dari dalam tiang itu menyeringai menyeramkan. Rambutnya hitam, agak panjang dan acak-acakan. Tepian matanya berwarna merah. Kulit wajahnya berwarna pucat mayat. Ketika menyeringai, tampak giginya berlumur darah dan taringnya masih meneteskan cairan merah darah.

Baru saja si pemuda berhasil memaksakan diri untuk dapat berlari masuk ke ruang tamu, tiba-tiba dari arah belakangnya terdengar suara lembut. Suara lembut itu tak  disangka-sangka, sehingga si pemuda terlonjak kaget dan memekik pendek.

"Hentikan!"

"Haaahh...?!" Pemuda itu jadi semakin panik. Walau hatinya sedikit lega, tapi gerak-geriknya masih serba salah dan wajahnya masih dicekam ketakutan.
Ia merasa heran melihat kepala yang muncul dari dalam tiang batu itu segera terbenam kembali.

Wajah mengerikan itu sempat terbelalak kaget, dan ketakutan melihat kemunculan si pemilik suara tadi. Pemilik suara itu adalah Kumala Dewi sendiri. Sebelum ia menenangkan hati tamunya, lebih dulu ia menghampiri tiang itu sambil menggeram jengkel.

"Lagi-lagi ulahmu bikin malu saja! Kumasukkan ke botol kau, Buron!"

"Sorry, sorry...!" suara itu segera terkubur ke dalam pilar berlapis keramik. Pilar itu menjadi rata kembali dan tak sedikit pun ada kotoran di sekitarnya. Retak sedikit pun tidak.

"Maaf, memang begitulah ulah temanku yang bernama Jin Layon. Dia memang jin usil, dan kami memanggilnya dengan nama Buron! Dia cuma ingin berkenalan dengan Anda. Silakan duduk lagi!"

Dengan napas terengah-engah, pemuda itu pun duduk kembali. Tapi begitu ia beradu pandang dengan wajah cantik jelita itu, ketegangan dan ketakutannya cepat menjadi susut. Seolah- olah kedua mata indah si wajah cantik itu menyalurkan getaran gaib yang dapat menenangkan hati tamunya.

Gadis cantik jelita yang malam itu hanya mengenakan celana pendek ketat dan kaos kutang merah itu merasa heran melihat wajah tamunya. Menurutnya sang tamu punya wajah lumayan. Ketampanannya akan tampak jelas jika ia mencukur pendek rambutnya dan mengenakan pakaian lebih rapi lagi. Melihat penampilan sang tamu yang berjaket hitam dan bercelana jeans, Dewi Ular alias Kumala Dewi, merasa yakin bahwa sang tamu adalah type orang yang santai dan cuek.

"Anda mencari siapa, Bung?" sapa Kumala Dewi sambil mengalihkan sikap agar tidak terlalu lama dalam beradu pandang.

"Hmm, eeh... saya... saya mau bertemu dengan Mbak Kumala Dewi."

"Aku sendiri Kumala." Kumala mengulurkan tangan. Mereka berjabatan. Kumala menambahkan kata kepada sang tamu. "Kelihatannya kita baru kali ini bertemu, ya?"

"Benar, Mbak Mala. Saya..."

"Panggil saja Kumala. Nggak usah pakai Mbak. Kayaknya usia. kita berbeda dua tahun. Anda berusia dua puluh enam tahun, bukan?"

"Hmm, eeh... iya. Memang benar," cowok itu tertawa malu. Belum-belum sudah berhasil dikupas pribadinya.

"Sejak kapan Anda kerja di perfilman?"

"Dua tahun yang lalu," jawab cowok itu sambil kebingungan, sebab dia belum menjelaskan di mana dirinya bekerja, tapi Kumala Dewi sudah menyebutkannya dengan benar. Ia memang kerja di perfilman. Tepatnya, ikut sebuah PH yang sedang getol-getolnya menggarap beberapa sinetron.

"Tapi aku belum tahu siapa namamu, Bung."

"Nama saya, eeh... hmmm, namaku... Fandy."

"Hmm, namamu mudah diingat, Fan," Kumala. memberikan senyum tipis yang menawan. Fandy tersipu kecil.

"Lalu, tujuanmu kemari?"

"Aku menemukan... menemukan suara- suara dari kubur."

"Maksudmu?" Kumala berkerut dahi.

Buron bukan orang asing lagi bagi Kumala Dewi. Jin yang pernah dikalahkan Dewi Ular itu sudah cukup lama mengubah diri menjadi sesosok pemuda berambut kucai, agak tampan, tapi berkesan konyol Kesaktiannya sebagai Jin Layon sering dipakai untuk menakut-nakuti tamu yang baru pertama kali datang ke rumah Dewi Ular, sehingga ia sering dipanggil dengan julukan jin usil.

Bukan hanya Jin Layon yang 'ikut' Dewi Ular, tapi juga seorang mantan sopir taksi yang bernama Sandhi, kini telah lama menjadi sopir pribadi gadis cantik anaknya Dewa Permana dan Dewi Nagadini itu. Mak Bariah dan kedua pemuda itu punya hubungan erat dengan Dewi Ular, bahkan menyerupai saudara sendiri. Tetapi untuk urusan mistik, Buron alias si jin usil itu selalu tampil sebagai asistennya Dewi Ular. Mak Bariah urusan rumah dan makanan, sedangkan Sandhi urusan transportasi.

Padahal sebagai anak dewa, Kumala bisa saja pergi ke mana-mana tanpa
mengandalkan transportasi darat, laut, maupun udara, ia bisa menggunakan jalur gaibnya, yang dapat membuat dirinya tahu-tahu berada di lain kota, atau bahkan lain benua. Namun hal itu jarang dilakukan Kumala kalau bukan dalam keadaan sangat terpaksa.

****

35. Musibah Sebuah Kapal✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang