Sepuluh

37 4 0
                                    

HAMPIR setengah jam lamanya Fandy berada di samping bangunan yang dipakai sebagai cafe itu. Hampir saja ia berang dan pergi tanpa pamit. Namun sebelum niatnya itu dilaksanakan, ia segera melihat Vinon keluar dari pintu samping juga.

"Di mana mobilmu, Fan?"

"Ada di depan sana!"

"Kalau begitu, cepat ambil mobilmu dan jemput aku di tikungan jalan itu."

"Kita mau ke mana nih?"

"Lakukan saja!" tegas Vinon sambil bergegas melangkah. Ia sempat pula
menambahkan kata dengan suara sedikit berseru, "Kalau ada yang menyapamu diamkan saja. Jangan menengok. Anggap saja namamu bukan Fandy!"

"Aneh...?!" gumam pemuda tampan itu sambil menyingkapkan rambut panjangnya yang sempat meriap di pipi kanan.

Fandy mengikuti perintah itu. Vinon benar-benar menunggunya di dekat tikungan jalan. Setelah perempuan cantik itu masuk ke mobil butut Fandy, tanpa diminta ia sudah bicara lebih dulu.

"Soalnya, si Lieza masih ada di dalam sana. Kebetulan tadi kulihat dia sedang bicara dengan seorang pemuda sebaya denganmu. Aku takut dia keluar dan memergokimu di tempat parkir."

"Memangnya kalau dia memergoki diriku, kenapa sih?"

"Nanti saja kuceritakan. Apakah kau juga nggak ingat tentang Lieza?"

"Mampus saja aku kalau kau buat kebingungan terus-menerus begini!" gerutu Fandy, tapi Vinon justru tertawa kecil bernada manja. Eeh, perempuan cantik itu justru bersandar di pundak Fandy.

Sikapnya seolah-olah menunjukkan bahwa ia sudah biasa dimanja oleh Fandy. Tentu saja hal itu membuat Fandy menjadi kikuk dan kian kebingungan. Laju mobilnya sempat labil karena kedua tangannya gemetar merasakan sentuhan kepala Vinon itu.

"Usahakan jangan sampai dia menyentuhmu lagi, Fandy."

"Omonganmu makin ngaco aja! Kenal sama Lieza aja belum, bagaimana mungkin aku dan dia akan bersentuhan?!"

"Syukurlah kalau kau yakin nggak akan bersentuhan dengannya."

Tiba di perempatan lampu merah, Fandy dibuat bingung oleh arah. "Hei, mau ke mana kita ini?"

"Pulang saja ke rumahku."

"Ya, tapi ke mana arahnya? Lurus, ke kiri, ke kanan, atau mundur?" Fandy
menampakkan kekonyolannya buat menghibur hatinya sendiri. Vinon tertawa sambil mencubit lembut pipi pemuda itu.

"Ke kiri dong. Masa mau ke kanan?"

"Habis aku memang belum tahu di mana tempat tinggalmu."

"Tempat tinggalku di apartemen!"

Apartemen tersebut mempunyai sebelas lantai. Hanya orang-orang eksekutif yang menempati apartemen tersebut, terutama orang asing dan beberapa pengusaha yang menyimpan istri mudanya. Vinon menempati unit apartemen di lantai tiga. Di sana ia tinggal seorang diri. Sungguh janggal bagi wanita secantik Vinon untuk menempati apartemen sendirian. Tapi itulah kenyataan yang terjadi, menurutnya.

"Aku mempunyai satu foto lagi yang mudah-mudahan dapat mengembalikan ingatanmu," katanya. Lalu, ia menyodorkan selembar foto ukuran poscard.

Lagi-lagi Fandy merasa kesal karena disodori foto kuno yang sudah buram dan berwarna hitam-putih. Sekalipun demikian, gambar dalam foto itu masih bisa dilihat tanpa harus menggunakan kaca pembesar. Tapi ternyata foto itu juga membuat Fandy berkerut dahi penuh rasa heran.

Gambar dalam foto itu menampakkan empat orang gadis mengenakan gaun model kuno. Mereka tampak bergaya di sebuah taman berumput halus. Di antara empat orang gadis itu, ada seorang pemuda yang berdiri di tengah-tengah mereka. Pemuda yang ada pada foto itu mempunyai wajah mirip sekali dengan Fandy, sedangkan gadis yang ada di sebelah kirinya mirip sekali dengan Vinon. Potongan rambut gadis itu juga serupa dengan potongan rambut Vinon, hitam bergelombang dengan panjang melewati bahu.

Vinon menunjuk gadis-gadis yang ada di deretan ujung kanan dan kiri. "Ini Maria dan ini Syanne."

"Maria...?" gumam Fandy pelan. Ia merasa asing dengan wajah milik Maria, sebab ia punya teman yang bernama Maria, tapi wajahnya tidak seperti gadis dalam foto itu.

Kini Vinon menunjuk wajah cantik di sebelah kanan dan kiri dari pemuda yang berpakaian kuno itu. "Ini dia si Lieza dan ini aku."

"Kau...?! Kau dan Lieza ada di sini?!"

Vinon mengangguk dengan tersenyum girang. "Pemuda tampan ini adalah kau sendiri, bukan?!"

Werr...!

Foto itu dibuang seenaknya oleh Fandy. "Aku bisa gila dalam semalam kalau begini caranya!" gerutunya dengan cemberut.

"Kenapa kau bersikap begitu, Fandy?"

"Yang bener aja?! Masa aku ada di foto itu?! Itu kan foto lama, mungkin lebih tua dari usiaku!"

"Tapi ini memang foto kita, Fandy'" sambil Vinon mengambil foto itu kembali.

"Mana mungkin?! Saat foto ini dibuat, aku belum lahir. Bahkan mamaku juga belum lahir!"

Vinon sengaja meletakkan foto itu di meja depan sofa tempat mereka duduk. Dua foto yang tadi diambilnya dari laci meja kerjanya juga ikut dipajang di atas meja tersebut. Pandangan mata Fandy tertuju pada foto kapal BINTARA - 1898 itu.

"Jadi sedikit pun kau tak ingat padaku, Fandy?" suara Vinon semakin lirih, bernada sedih. Matanya tetap memandangi foto-foto itu.

"Aku memang tak punya masa lalu sedikit pun denganmu, lebih-lebih dengan yang bernama Lieza itu."

Vinon menatapnya, bola mata indah itu mulai berkaca-kaca. Keceriaannya sirna dari wajah antik dan berganti kemurungan yang menduka. "Kalau begitu sia-sia saja aku datang menjemputmu. Aku yakin, pasti kau sudah berpaling kepada perempuan lain dan melupakan diriku."

Bola mata itu semakin basah. Fandy semakin serba salah. Pelan-pelan pandangan mata Vinon beralih kepada foto-foto itu lagi. Tapi ia tetap berkata dengan suara mengharukan.

"Sia-sia saja kubawa foto itu ke mana-mana untuk memulihkan ingatanmu, tapi rupanya seluruh jiwamu telah tertutup kecantikan perempuan lain, sehingga kenangan dalam foto itu tak membekas sedikit pun dalam hatimu."

Tersentuh hati Fandy mendengar kata-kata Vinon. la merasa tak seharusnya ngotot di depan perempuan itu. Mungkin ada sesuatu yang mengguncangkan jiwa perempuan tersebut, sehingga mestinya ia menanggapi dengan kelembutan dan kesabaran.

"Vin, mmm... maafkan aku..."

Vinon berpaling menatapnya. "Aku... aku rindu sekali padamu, Fandy..."
Ucapan yang membisik kian mengharu di hati Fandy.

Air mata Vinon pun meleleh membasahi pipinya yang halus lembut bak pipi bayi itu. Bibir sensual itu digigitnya sendiri untuk menahan isak tangis yang terasa mendesak dada. Pelan-pelan tangan Fandy pun menyentuh pipi itu. Pelan-pelan juga air mata Vinon diusap dengan punggung jari-jari tangannya.

"Maafkan aku, Vin. Aku benar-benar tak tahu siapa dirimu."

"Aku rindu padamu..." suara Vinon makin kecil, makin terkubur dalam duka. Akhirnya tangis itu pun lepas tercurah.

Vinon memeluk Fandy erat-erat. Perasaan Fandy semakin iba, dan ia tahu apa yang dibutuhkan perempuan itu. Maka pelukan Vinon pun dibalasnya. Cukup erat Fandy memeluk Vinon, cukup lembut ia mengusap-usap kepala dan punggung perempuan tersebut.

"Fan, aku ingin kita bersatu lagi seperti dulu. Aku ingin kemesraan kita tak diganggu lagi oleh Lieza. Aku sangat mencintaimu, Fan... aku mencintaimu..." suara Vinon timbul-tenggelam di sela-sela isak tangisnya.

Fandy sengaja diam, menyimak duka itu dengan lebih bijak lagi.

****

35. Musibah Sebuah Kapal✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang