Tiga belas

35 4 0
                                    

"Aku juga terpikat olehnya. Aku berhasil dibawanya ke sebuah motel, dan kami bercinta di sana menjelang fajar tiba. Esok sorenya aku mengalami..."

Belum habis Nanu bicara, tiba-tiba Tomma terkejut, kepalanya tersentak mundur. Sesuatu yang mengejutkan dirinya adalah benda kecil yang meloncat dari lubang pori-pori wajahnya.

Piuk...!

Nanu dan Niko sempat tersentak mundur menjauhi binatang kecil yang tak lain adalah belatung hitam berlendir.

"Gawat kamu, Tom!" gumam Niko sambil memandang Tomma dan Kumala secara bergantian.

Sandhi pun menjauhkan jarak dengan Tomma. Ia takut kalau ada belatung lain yang loncat dari balik kulit wajah Tomma dan jatuh di pangkuannya. Sandhi tak ingin hal itu terjadi, karena ia akan menjerit dicekam rasa jijik yang menjengkelkan.

"Tom, coba kau mendekat kemari!" sambil Kumala menepuk lantai di sebelahnya. Ia ingin Tomma duduk di sebelah kanannya.

Tetapi sebelum Tomma bergeser maju, tiba-tiba dari kulit di sekitar pelipisnya itu muncul tiga belatung hitam berlendir yang langsung loncat secara bersamaan. Tomma terpekik, karena keluarnya belatung itu menyakitkan kulit wajahnya, bahkan menimbulkan bekas luka.

"Ooh, ada apa ini?! Kenapa aku mengeluarkan belatung kayak gitu, Kumala?!"

"Berarti belatung iblis itu muncul setelah kalian melakukan kencan dengan perempuan yang bernama Lieza!" kata Niko dengan nada tegang. Tomma yang sudah berada di dekat Kumala dan saling berhadapan itu terdorong mundur dari duduknya.

Kumala Dewi melepaskan semacam pukulan berhawa panas yang memancarkan cahaya hijau ke dada Tomma. Saat itu sekujur tubuh Tomma seperti dibakar api.

"Aooow...! Panaasss...!" Tomma meringkuk sambil mendekap dada dengan kedua tangannya. Keadaan itu sangat mencekam Niko dan yang lainnya. Dewi Ular segera melepaskan cahaya hijau lagi yang kali ini segera membungkus tubuh Tomma.

"Uuhkk...!" Tomma menjadi kejang dengan suara menyentak lirih, la tak sadarkan diri dalam waktu sekitar sepuluh detik.

Setelah cahaya hijau itu padam dan lenyap tanpa bekas, tubuh Tomma bergerak kembali, ia seperti sadar dari pingsannya. Suara erangan kecil terkesan seperti bangun dari tidur nyenyaknya. Semua mata memandang Tomma dengan tegang. Tapi ketegangan itu menjadi reda setelah Tomma bangkit sendiri dan duduk di lantai sambil melemaskan urat-uratnya.

"Bagaimana rasanya sekarang?" tanya Kumala Dewi.

"Aku seperti bangun dari tidur. Badanku enak sekali. Nggak sepanas tadi."

"Belatung iblis dalam tubuhmu telah lenyap. Beruntung sekali nggak sampai seperti Nanu..."

Tomma menyeringai ngeri ketika mendengar cerita menyemburnya belatung hitam dari perut Nanu. Ia memang merasa beruntung ketimbang Nanu. Tapi kedongkolan masih menggerogoti hatinya. Kebencian terhadap wajah cantik Lieza hanya bisa menggumpal dalam dada Tomma, demikian pula dalam dada Nanu.

Suara adzan magrib terdengar. Mereka sengaja menghentikan kegiatan. Kumala Dewi masuk ke kamarnya hingga beberapa saat lamanya. Pada waktu Kumala muncul, petang mulai datang. Bertepatan dengan datangnya sang petang, datang pula dua orang tamu yang ingin bertemu dengan Dewi Ular.

"Hei, siapa itu, Fan?!" sapa Niko saat Fandy berjalan menuju ke pendopo. Fandy tidak datang sendirian. Ia bersama wanita cantik yang mirip Brooke Shields itu.

"Nik, kenalkan... ini calon istriku!" kata Fandy sambil mengerlingkan mata kepada Niko, seakan memberi tanda agar Niko mau mempercayai kata-katanya tadi.

Niko dan yang lainnya berjabat tangan dengan Vinon. Ketika tangan Vinon digenggam oleh Buron, jelmaan Jin Layon itu nyeletuk seenaknya saja. "Sejak kapan kau bangkit dari kematian?!"

Tentu saja kata-kata Buron itu mengejutkan Sandhi, Niko dan Tomma. Sapaan jin usil itu juga membuat Fandy tak enak hati. Ia salah tingkah dan tak bisa bilang apa-apa.

"Jangan terlalu lancang mulutmu, Buron!" tegur Dewi Ular bernada wibawa.

"Apakah kamu nggak bisa merasakan getaran dari dalam kubur, Mala?Getaran itu sangat kuat dan kurasakan datangnya dari gadis, cantik ini!"

"Buron! Jaga bicaramu!" hardik Kumala Dewi dengan mata menatap tajam. Buron pun menjadi ciut nyali. Ia menghembuskan napas sambil mundur, lalu berdiri bersandar pada tiang pendopo.

"Maaf, itu tadi hanya kekonyolan Buron yang gemar bercanda," kata Kumala Dewi kepada Vinon.

"Nggak apa-apa," Vinon mencoba untuk tetap memberikan senyum keramahan.

Fandy menimpali, "Justru dia kuajak kemari karena masalah yang dikatakan Buron tadi, Mala."

"Hahh...?! Berarti dia memang benar-benar bangkit dari kematian?!" Sandhi menggumam dengan nada tegang. Tomma dan Nanu pun melangkah mundur menjauhi Fandy dan Vinon. Buron tersenyum tipis dan tetap diam di tempatnya.

Vinon berkata kepada Kumala, "Fandy banyak bercerita tentang dirimu, Kumala. Justru itulah aku minta pada Fandy untuk membawaku kemari. Kami mohon bantuanmu menghindari gangguan kakakku, Lieza!"

"Ooh, jadi... jadi Lieza itu kakakmu?!" sentak suara Tomma dengan bibir gemetar.

"Benar. Dia kakakku. Tapi dia juga rivalku."

Vinon berkata kepada Kumala, "Lieza ingin merebut Fandy dari pelukanku. Sejak dulu, sejak musibah kapal itu belum terjadi, Lieza sudah berhasil membuatku iba padanya dan membiarkan dia akan bertunangan dengan Fandy. Tapi ketika musibah kapal itu terjadi. aku merasakan genggaman tangan Fandy yang tak dapat kulepaskan lagi. Saat itulah aku merasa, bahwa sebenarnya aku sangat mencintai Fandy dan ingin sehidup semati dengan Fandy."

"Musibah kapal yang mana?" sela Sandhi agak ragu-ragu.

Fandy menyahut, "Yang kita tonton melalui monitor komputer tempo hari."

"Astaga...?!" Sandhi pun menegang dan lebih mundur lagi.

"Dia benar-benar dari alam kematian," bisik Sandhi kepada Tomma dan Nanu.

Niko ikut menelan ludah menahan rasa takutnya. Dewi Ular menyuruh Vinon lebih mendekat. Bukan hanya Vinon yang mendekat, tapi Fandy juga ikut mendekat.

"Ulurkan tangan kirimu, Vinon," sambil Kumala memberinya contoh, mengulurkan tangan kiri dengan telapak tangan menghadap ke atas.
Vinon melakukan hal yang sama. Ia berdiri di sebelah kanannya Fandy.

"Ulurkan pula tangan kananmu seperti Vinon, Fandy."

Fandy tidak banyak komentar, lalu mengikuti perintah itu. Kini tangan Fandy terulur dengan telapak tangan terbuka ke atas, bersebelahan dengan tangan kiri Vinon.

"Naikkan sedikit."

Vinon dan Fandy sedikit menaikkan posisi tangan tersebut. Kini kedua tangan itu terangkat sejajar dengan ulu hati masing-masing. Kedua tangan Kumala Dewi terulur ke bawah tangan Vinon dan Fandy, namun tidak sampai menyentuh. Tangan Kumala bergetar dalam jarak satu jengkal dengan tangan mereka berdua. Lalu tangan Kumala segera ditarik mundur. Ternyata tangan Vinon dan Fandy ikut menjadi bergetar.

Semua mata memandanginya dengan sedikit tegang. Kumala justru bersidekap tenang dalam posisi masih berdiri di depan Vinon dan Fandy. Getaran kedua tangan itu lama-lama berasap tipis. Asap tersebut bagaikan keluar dari tengah telapak tangan. Beberapa kejap kemudian, kedua telapak tangan itu mengeluarkan cahaya seperti percikan bunga api.

"Tahan napas kalian berdua!" perintah Kumala dengan suara pelan tapi berkesan tegas dan jelas. Vinon dan Fandy pun menahan napasnya.

Crlaaaap...!

Niko, Sandhi dan yang lainnya tersentak kagum. Telapak tangan Vinon dan Fandy menyemburkan sinar biru bintik-bintik. Indah sekali. Sinar biru itu saling bertemu di udara, sebelum masing-masing menyentuh atap pendopo. Kedua sinar yang saling bertemu itu membentuk lengkungan tanpa putus, tanpa suara dan tanpa percikan bunga api lagi. Tetapi tubuh Vinon dan Fandy sama-sama bergetar dan berkeringat dingin. Dewi Ular segera mengibaskan tangannya seperti membuka gorden.

Wuut...!

Sinar biru itu padam seketika. Getaran tangan Vinon dan Fandy ikut lenyap juga. Kedua tangan itu terkulai lemas. Vinon dan Fandy menatap Kumala, seakan mereka menunggu komentar si Dewi Ular tentang keajaiban yang baru saja mereka lakukan di luar kesadaran itu.

****

35. Musibah Sebuah Kapal✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang