Dua belas

36 4 0
                                    

"Coret saja dari daftar tamu. Akan kusuruh resepsionis mengatakan bahwa Lieza sudah punya teman kencan sendiri."

"Siapa maksudmu?"

"Siapa lagi kalau bukan... angin yang berlalu." Lieza tertawa kecil, tapi Tomma tersenyum lebar dengan tawa menyerupai gumam.

Matanya memandangi Lieza yang duduk di sampingnya. Adu pandangan mata itu kian membuat dada Tomma bergemuruh karena darah kemesraannya bagaikan mendidih. Ingin segera diledakkan. Lieza sengaja diam. Tak mau mengawali apa-apa, tapi pandangan matanya mulai sayu, dan senyumnya menantang keberanian lawan jenisnya.

"Kau tampak menggairahkan sekali, Lieza," ucap Tomma lirih.

"Apanya yang menggairahkan?"

"Bibirmu, dadamu dan..."

"Mengapa kau tak mengambilnya sekarang juga?"

"Aku takut kau menolaknya."

"Aku sedang menunggu sentuhan mesramu."

"O, ya...?" sambil Tornma makin mendekat. Lalu membisik pelan. "Bagaimana kalau yang kusentuh bibirmu dulu?"

Lieza menggeleng. "Dada lebih dulu."

"Aku akan menyentuhnya dengan kecupan. Okey?"

"Dengan lidahmu," sambil tangan Lieza meraba lembut pipi Tomma. Rabaan itu makin ke tengkuk, tangan Lieza sedikit menekan kepala Tomma agar segera mencium dadanya.

Sementara itu, tangan Lieza yang satunya lagi dengan mudahnya melepas kancing blus, lalu menyembulkan sesuatu yang terbungkus dalam keadaan kencang dan montok itu. Tomma pun menyapu tepian kulit dengan lidahnya. Bukit hangat semakin diputari, sampai akhirnya sapuan lidah Tomma mencapai puncak bukit itu.

"Oouuhhhhh...!" Lieza mendesah dengan mata terpejam. Tomma memungutnya bersama gigitan kecil.

"Aaauuhhhh...!" Lieza mengerang dengan kepala didongakkan. Tangannya meremas-remas rambut Tomma, sambil membiarkan kedua tangan Tomma melepaskan pengait yang ada di punggung.

Begitu pengait itu lepas, maka dada Lieza pun semakin bebas. "Oooh, Tommaaa... kau seperti bayi kehausan, Sayang. Oouuhh... lepaskan pula ikat pinggangku, Sayang. Lepaskan sekarang juga semuanya. Ooouuhhh... nikmat sekali
kelincahanmu, Tomma..."

Dalam beberapa saat kemudian, keduanya menjadi seperti bayi baru lahir. Lieza ternyata lebih galak dari Tomma. Gairah perempuan itu lebih buas dari lawan jenisnya. Tomma terkapar di ranjang sementara Lieza menyapukan lidahnya ke sekujur tubuh Tomma.

"Liez... Liiezzz... ooouuuhh, pintar sekali kauuu, uuuhff... ssss, aaahhhhh...!" Tomma mendesah-desah diburu gairah yang kian berkobar. Lieza tak sabar mendengar desah seorang lelaki yang sedang bergairah. Ia pun segera menguasai Tomma.

Layar terkembang, perahu pun melaju menuju puncak kenikmatan. Malam dibiarkan menjadi saksi kemesraan yang terasa begitu indah tiada duanya itu. Tubuh mereka sama-sama terkulai lemas di atas ranjang. Keadaan ranjang sudah
acak- acakan. Seprai ke mana, bantal ke mana, guling entah ke mana. Ranjang itu bagaikan desa yang tersapu angin badai. Amukan gairah. Lieza telah membuatnya berantakan dan Tomma tertawa geli melihatnya.

"Aku ke kamar mandi sebentar, ya?" kata Lieza sambil turun dari ranjang. Tomma tertawa lagi melihat Lieza menggeloyor mau jatuh. Lieza pun tertawa geli-geli malu.

"Kakiku lemas, seperti nggak punya tulang. Hii, hii, hii..." ujarnya sambil menegakkan badan, lalu meluruskan langkahnya ke kamar mandi.

Tomma menyalakan sebatang rokok, ia menunggu kembalinya Lieza sambil menghidupkan pesawat teve, Hatinya masih ditaburi bunga-bunga keindahan, seolah-olah sentuhan mesra lidah perempuan itu masih merayap di sekujur tubuhnya.

"Luar biasa sekali perempuan yang satu ini," pikirnya. "Biar pertandingan sudah usai, tapi sekujur tubuhku masih terasa nikmat, seperti dijamah oleh jari dan lidahnya."

Sebatang rokok sudah menjadi puntung. Tomma mematikannya ke dalam asbak. Anehnya, pintu kamar mandi masih tertutup, walau tidak terkunci. Lieza masih belum keluar dari dalam kamar mandi itu.

"Liez...?! Lama amat sih? Ngapain kamu di situ lama-lama?!" seru Tomma. Namun seruan itu tidak mendapat jawaban dari dalam kamar mandi.

"Wah, kacau tuh orang! Jangan-jangan tidur di bak mandi?!" gumam Tomma dengan konyol, akhirnya ia turun dari ranjang dan menjemputnya. Pintu kamar mandi mudah terbuka dengan sedikit dorongan ringan saja.

"Hahh...?!" Tomma terpekik dengan mata mendelik. Ternyata kamar mandi dalam keadaan kosong tanpa siapa-siapa di dalamnya. Tak ada pintu keluar atau jendela yang bisa dipakai untuk melarikan diri. Tapi mengapa Lieza tidak ada di dalam kamar mandi itu?

Tomma menjadi tegang. Pakaian yang ditinggalkan Lieza di lantai dan di sofa juga ikut lenyap. Padahal sewaktu Tomma mematikan rokok ke dalam asbak, ia masih melihat pakaian dalam Lieza yang tergeletak disamping kaki meja itu.

"Aneh...?! Kok sekarang pakaiannya ikut lenyap sih?!" gumam Tomma dengan mulai gemetar dan sekujur tubuhnya merinding semua.

Pada saat itu Tomma segera mencium bau busuk bercampur bau amis. Aroma itu memang tak terlalu tajam, namun sempat membuat mual perut Tomma. Rasa mualnya itu nyaris tak begitu dihiraukan, karena hati Tomma mulai dicekam perasaan takut.

"Kalau begitu... kalau begitu yang bercinta denganku tadi bukan manusia biasa?! Ooh, benarkah begitu?!"

Tangan Tomma gemetar sekali saat mengangkat gagang telepon, ia ingin melaporkan peristiwa menakutkan itu kepada pihak hotel. Tapi jari-jarinya selalu salah menekan angka-angka pada box telepon tersebut.

Eksekutif muda yang kadang tampil dengan kekonyolannya itu ternyata bukan orang asing lagi bagi Dewi Ular. Dia adalah pimpinan group band yang menamakan kelompoknya Buldog Band, dan kesehariannya menjabat sebagai seorang direktur di rumah produksi. Tomma Tondanau pertama kali bertemu Dewi Ular di Paloma Discotek, ketika Dewi Ular menangani suatu kasus misteri juga.

Merasa punya kenalan paranormal berpotensi tinggi, Tomma pun segera mengadukan nasibnya itu kepada Kumala Dewi. Ia datang ke rumah Kumala pada esok harinya, menjelang waktu adzan magrib tiba. Saat itu Kumala sedang berada di pendopo yang dibangun di belakang rumah. Di dalam pendopo tanpa dinding itu Kumala sedang bicara dengan Niko, Nanu, Sandhi dan Buron. Sejak tadi Buron memang tidak ikut bicara, tapi ia menyimak setiap kata yang sedang dibicarakan oleh mereka.

Kedatangan Tomma membuat suasana menjadi sedikit lebih tegang lagi. Sebelumnya, Kumala dan yang lainnya membicarakan tentang bayangan perempuan cantik yang dilihatnya dalam kedua bola mata Nanu itu. Pada saat Tomma bergabung di situ, Kumala Dewi menatapnya tanpa berkedip, karena pandangan mata batinnya melihat jelas bayangan perempuan cantik di kedua bola mata Tomma.

"Aku melihat bayangan perempuan cantik di kedua matamu, Tom. Apa yang telah terjadi pada dirimu sebenarnya? Kulihat perempuan cantik itu mempunyai tahi lalat kecil di sudut bibirnya dan..."

"Itu wajah Lieza!" sahut Tomma dengan cepat, sebab pada saat itu terbayang di benaknya wajah Lieza yang memang mempunyai tahi lalat kecil di sudut bibirnya itu.

Tentu saja jawaban Tomma mengejutkan yang lainnya, termasuk Nanu sendiri. Hanya Buron yang tidak tampak terkejut, sekalipun sebenarnya Buron sedang sibuk menarik kesimpulan dalam hatinya. Ternyata perempuan yang dihadapi Nanu dan Tomma adalah sama, yaitu Lieza.

"Aku juga terpikat olehnya. Aku berhasil dibawanya ke sebuah motel, dan kami bercinta di sana menjelang fajar tiba. Esok sorenya aku mengalami..."

****

35. Musibah Sebuah Kapal✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang