Delapan

42 5 0
                                    

"Betisnya indah sekali?!" gumam hati Fandy penuh kekaguman. "Putih, mulus, tanpa stocking, dan... ya ampun! Betis belalang itu mempunyai paha yang mampu membakar hasratku yang mengeringkan seluruh darahku. Gila bener nih orang!"

Wanita cantik berbibir sensual sekali itu menatap Fandy dengan pandangan sedikit sayu. Senyum tipis yang masih tetap mekar di bibirnya telah membuat Fandy merasa ditantang untuk saling beradu pandang. Namun gemuruh dalam dada Fandy tak sanggup menerima tatapan mata selembut itu. Fandy terpaksa mengubah suasana agar tak terlalu lama saling membisu.

"Terus terang, aku sangat terkejut dan terheran-heran ketika pelayanku menyerahkan kartu namamu. Aku masih sangsi, apakah benar kartu nama itu untukku atau mungkin salah alamat?"

"Memang untukmu," jawab sang manager berjari lentik. Ia mengambil sebatang rokok putih dan menyalakannya dengan cuek. Santai sekali kelihatannya.

"Sebenarnya... sebenarnya aku merasa asing denganmu. Rasa-rasanya aku belum pernah kenal denganmu, Vinon."

"Tapi sekarang kau sudah mengenalku, bukan?"

''Ya, tapi... tapi itu lantaran kau memaksaku datang kemari."

"Aku terpaksa mengundangmu karena aku yakin sulit sekali untuk menemuimu di rumah." Suaranya yang terdengar sedikit serak tapi bernada mesra itu sempat membuat hati Fandy semakin deg-degan.

Diakui oleh hati kecil Fandy, perempuan cantik itu memang mempunyai daya pikat yang sangat tinggi. Ia seperti magnit , yang sulit dihindari daya tarik oleh logam mana pun juga.

"Apakah kau merasa kecewa bertemu denganku?" sambil si manager cantik itu pindah duduknya ke sebelah Fandy. Aroma parfumnya terserap tajam ke hidung Fandy. Aroma parfum itu punya kelembutan dan wewangian yang memaksa seseorang harus berkhayal tentang asmara dan ranjang.

"Bukan soal kecewa atau tidak. Bagiku, undanganmu ini benar-benar sesuatu yang sangat sensasional."

Si manager cantik tertawa pelan. Suara tawanya terdengar serak-serak basah.

"Sebenarnya... sejak kapan kau mengenalku?"

"Sejak kapan itu tak perlu. Yang perlu kau ketahui, aku kenal dirimu dari seorang teman."

"Siapa nama temanmu itu?"

"Syanne."

Dahi pun berkerut tajam. "Siapa itu Syanne?! Aku nggak punya teman atau kenalan yang bernama Syanne. Baru sekarang kudengar ada nama Syanne."

"Tapi nama Vinon sudah kau dengar, bukan?"

"Hmm, eeh... aku... aku memang pernah mendengar nama Vinon. Tapi... tapi itu... aah, sudahlah! Sulit bagiku menjelaskannya. Pada dasarnya aku belum pernah kenal denganmu dan baru sekarang bertemu dengan yang bernama Vinon."

"Akulah yang bernama Vinon. Masa kamu nggak percaya sih?"

"Iya. Aku percaya kau bernama Vinon Tapi sebelum ini kita nggak pernah bertemu, bukan?"

"Pernah. Tapi mungkin kau memang lupa," jawab Vinon sambil berdiri dan melangkah mendekati meja kerjanya yang berwarna coklat mengkilat dan bertepian kuning emas itu.

Fandy masih berkerut dahi, merasa heran dengan pernyataan tersebut, ia
memandangi Vinon yang seolah-olah tak mempedulikan tatapan mata tamunya itu. Vinon membuka laci meja kerjanya. Ada sesuatu yang diambilnya dari dalam laci itu. Kemudian ia kembali duduk di samping Fandy dengan langkahnya yang gemulai. Saat duduk kembali itu, span ketatnya lebih tersingkap lagi, Sehingga kemulusan pahanya seolah-olah sengaja dipamerkan di depan mata Fandy.

"Kau masih ingat gadis dalam foto ini?" Vinon menyodorkan sebuah foto tanpa bingkai. Foto itu tampak kumal dan buram. Warnanya hanya hitam putih dan mempunyai bercak-bercak coklat di bagian sudutnya.

35. Musibah Sebuah Kapal✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang