Lima

39 5 0
                                    

FANDY tinggal di rumah kontrakan. Rumah itu mungil, tapi punya halaman samping agak lebar. Halaman tersebut dipakai untuk taman, lengkap dengan sebuah payung pantai. Di situlah biasanya Fandy menikmati masa santainya sambil menikmati ikan-ikan berlarian di kolam berair jernih.

Di rumah itu, Fandy tinggal bersama adik perempuannya. Ginna, adik perempuannya itu, sudah berusia 24 tahun. Seusia dengan Kumala Dewi. Hanya gadis itulah satu-satunya saudara Fandy. Ginna berprofesi sebagai pramugari di sebuah maskapai penerbangan. Ginna jarang berada di rumah. Kadang dua minggu sekali Ginna baru pulang ke rumah kakaknya itu. Selain Ginna punya tempat kost sendiri yang dekat dengan bandara, ia juga lebih sering berada di angkasa. Rute penerbangan ke luar negeri membuat Ginna lebih suka bertugas daripada mengambil cuti. Praktis.

Pemuda berwajah tampan itu lebih sering bengong sendirian di rumah kontrakannya itu. Untung ia masih mampu menggaji seorang pelayan lelaki. Ubay, namanya. Usianya masih tergolong remaja. Masih 18 tahun. Tapi selain rajin, Ubay juga pintar memasak dan enak diajak ngobrol. Kadang-kala kesepian Fandy terhibur oleh obrolan ringannya dengan Ubay.

Petang itu, pukul tujuh kurang Fandy sudah sampai rumah. Ubay menyambutnya dengan membukakan pintu garasi. Pelayan bertubuh agak kurus itu sedikit heran melihat majikannya pulang sebelum pukul sembilan malam. Sebab biasanya Fandy selalu pulang di atas pukul sembilan malam.

"Ada yang cari aku tadi, Bay?" sambil Fandy keluar dari mobilnya.

"Pak Usman menelepon dua kali, Tuan."

"Usman? Oh, ya... ada pesan apa dia?"

"Pesannya cuma... nanti kalau Tuan sudah sampai rumah, Tuan diminta meneleponnya ke rumah Pak Usman."

"Hmm, terus siapa lagi yang menelepon?" sambil Fandy melangkah menuju ruang makan lewat pintu tembus garasi.

Ubay mengikutinya dari belakang sambil membawakan tiga cassette video ukuran VHS hasil pekerjaan Fandy di studio. "Nyonya Connie juga minta dihubungi malam ini juga."

"Oo, Tante Connie...?!"

"Katanya, beliau tadi siang menelepon ke studio dan ke kantor Tuan, tapi Tuan nggak ada di tempat. Maka beliau menelepon kemari."

Fandy tertawa pelan. "Sebenarnya aku ada di studio. Tapi malas mau terima telepon darinya."

Ubay meletakkan tiga cassette video itu di meja kerja Fandy. Ketika Ubay ingin meninggalkan kamar Fandy, ia sempat berhenti sebentar di depan pintu. "O, iya, tadi ada tamu yang kemari, Tuan. Sekitar lima belas menit yang lalu."

"Siapa?" Fandy melepas kemejanya.

"Seorang perempuan muda, Tuan. Dia mendesak agar saya menelepon ke kantor Tuan dan memberi tahu kedatangannya. Tapi saya tetap nggak berani menghubungi Tuan."

"Perempuan muda?!" Fandy berkerut dahi. "Sudah pernah ke sini apa belum?"

"Kayaknya sih, belum pernah, Tuan. Tapi dia bilang, dia sudah kenal dengan Tuan."

"Siapa namanya?"

Ubay mengingat-ingat sambil merogoh saku celana pendeknya. Rupanya ia mengambil selembar kartu nama yang dititipkan kepadanya. Ia membaca kartu nama itu sambil melangkah mendekati Fandy.

"Namanya... Vinon Samora."

"Vinon?" Fandy menggumam dengan nada heran, hatinya tersentak oleh nama depan yang disebutkan Ubay.

Ubay menyerahkan kartu nama itu sambil tersenyum dan berkata. "Namanya cantik sekali, Tuan. Sama cantiknya dengan wajah itu."

"Vinon...?!" Fandy menggumam lagi semakin tajam nada herannya. Sebab pada saat itu ia teringat suara-suara gaib yang masuk dalam rekaman disketnya.

Salah satu dari teriakan orang di kapal Bintara itu ada yang memanggil-manggil nama Vinon. Tanpa disadari bulu kuduk Fandy mulai merinding. Detak jantungnya menjadi cepat. Kecemasan meremas hati, menghadirkan keresahan tersendiri. Ia membaca kartu nama yang berlogo sebuah cafe. Di bagian atas kartu nama berwarna pink itu tertera tulisan sebuah cafe yang pernah beberapa kali dikunjungi Fandy, Imagine Cafe.

Di bawah tulisan nama Vinon Samora terdapat tulisan, manager. Selain alamat cafe tersebut, juga tertera alamat tempat tinggal si pemilik kartu nama itu.

"Aku nggak kenal dengan perempuan ini!" kata Fandy seolah-olah ditujukan pada dirinya sendiri.

"Tapi dia tahu kalau Tuan kerja di kantor film."

"Banyak sih yang tahu aku kerja di mana, cuma yang ini aku benar-benar nggak tahu siapa dia! Orangnya kayak apa sih, Bay?"

Ubay menceritakan ciri-ciri perempuan muda yang bertubuh tinggi, sekal dan berdada padat berisi. Menurut Ubay, kecantikan perempuan muda itu seperti bintang film Hollywood.

"Mirip... mirip Brooke Shields deh, Tuan."

"Ah, ngaco aja luh! Kayak udah pernah ketemu Brooke Shields aja!"

"Saya kan sering nonton filmnya dari laser disc yang Tuan beli itu."

"Tapi... tapi aku nggak punya kenalan yang punya kecantikan seperti Brooke Shields!"

"Kalau begitu biar jadi kenalan saya aja, Tuan," ujar Ubay dalam canda.

Fandy tertawa, geli-geli kesal. "Dia bilang apa padamu, Bay?"

"Yaah... cuma mendesak saya supaya menghubungi Tuan. Dia mau bicara dengan Tuan. Tapi karena saya tetap nggak mau, dia kasih saya kartu nama itu. O, ya... kalau nggak salah di belakang kartu nama itu dia menulis pesan buat Tuan."

Fandy membalik kartu nama pink itu. Ternyata memang ada pesan yang tertulis di situ dengan tinta biru. Tulisannya kecil-kecil tapi bagus sekali. Jelas dibaca.

"Tolong luangkan waktu untukku. Ada yang perlu kita bicarakan empat mata. Kutunggu di Imagine Cafe malam ini. From me: VINON'S."

Tertegun Fandy setelah membaca pesan tersebut. Kesan yang timbul saat itu adalah hubungan yang sudah lama terjalin akrab. Padahal Fandy benar-benar merasa belum pernah punya sahabat atau kenalan yang bernama Vinon Samora, lebih-lebih yang berwajah seperti Brooke Shields, sama sekali tidak ada.

Jika pesan itu merupakan permainan dari seorang teman yang kepingin ngerjain dirinya, mengapa harus membawa-bawa nama Vinon Samora? Ketegangan Fandy ditinggalkan oleh Ubay. Satu-satunya cara untuk melegakan hati yang penasaran adalah dengan menghubungi Imagine Cafe melalui nomor telepon yang ada di kartu nama itu.

"Maaf, Tuan Zus Vinon belum ada di tempat. Mungkin satu jam lagi beliau datang," jawab si penerima telepon di Imagine Cafe.

"Tapi apa benar manager cafe ini bernama Vinon Samora?"

"Benar, Tuan. Coba nanti satu jam lagi Tuan telepon lagi. Mudah-mudahan Zus Vinon sudah datang."

Kurang puas hati Fandy walau sudah mendapat kepastian, bahwa manager di cafe itu memang Vinon Samora. Ia segera menelepon Kumala Dewi. Ia ingin tanyakan tentang apa yang harus dilakukannya dalam menghadapi keanehan tersebut.

Sayangnya Kumala Dewi tidak ada di rumah. Mak Bariah yang menerima telepon dari Fandy mengaku tidak tahu nomor handphone Kumala. Rasa penasaran semakin meresahkan jiwa. Akhirnya Fandy memutuskan untuk datang ke Imagine Cafe. Ia ingin membuktikan apakah kasus itu sebuah permainan konyol dari teman-temannya, atau sebuah misteri yang ada hubungannya dengan musibah kapal pada 100 tahun yang lalu itu?

****

35. Musibah Sebuah Kapal✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang