Tiga

50 5 0
                                    

ILMU apa pun tak dapat mengungguli ilmunya Dewi Ular. Bagaimana mungkin sebuah disket berisi suara, dapat mengeluarkan gambar dari suara itu sendiri ke layar monitor sebuah komputer. Bukan hanya Fandy yang terheran-heran melihat kenyataan itu, tapi Sandhi, juga merasa heran, karena selama ia ikut Kumala Dewi belum pernah melihat Kumala mengeluarkan keajaibannya melalui komputer.

Sandhi ikut bergabung di kamar Kumala, demikian juga Buron. Sebelumnya mereka diperkenalkan lebih dulu oleh Kumala kepada Fandy. Keramahan mereka membuat Fandy merasa cepat menjadi akrab dengan Sandhi dan Buron. Melalui pembicaraan Kumala dengan Fandy, secara garis besar saja Sandhi dan Buron dapat menyimpulkan persoalan yang hadir di malam itu. Tentu saja Sandhi ikut menjadi heran, karena gambar yang muncul di layar monitor itu cukup jelas, seperti sebuah film dalam layar teve biasa. Hanya jin usil yang tidak tampak terheran-heran, sebab keanehan seperti itu sudah bukan hal asing lagi baginya.

"Benar-benar mengagumkan sekali!" gumam hati Fandy. "Password apa yang digunakan Kumala untuk membuat disketku bisa mengeluarkan gambar seperti ini?!"

Dewi Ular mendengar kecamuk hati Fandy. Ia tersenyum tipis dan berkata tanpa memandang pemuda itu. "Password-ku adalah password gaib. Jangankan mengeluarkan gambar seperti ini, dipakai untuk menghubungi orang tuaku di Kahyangan pun bisa!"

Pada awalnya memang mereka masih tenang-tenang saja. Tidak ada ketegangan apa pun, selain ekspresi wajah penuh perasaan heran. Pada bagian awal, layar monitor itu menampakkan gambar lautan lepas yang berombak tenang. Airnya biru kehijau-hijauan. Gambar itu muncul selama sekitar dua menit. Suara ombak terdengar samar-samar dari loundspeaker yang ada dalam komputer itu. Lalu muncul sebuah titik hitam di batas cakrawala.

Kemunculan titik hitam itu mulai menarik perhatian mereka lebih kuat lagi. Mereka yakin, titik hitam itu adalah kemunculan sebuah kapal yang makin lama makin jelas. Seolah-olah kapal itu mendekati sebuah kamera.

"Aku nggak bawa kamera pada waktu itu. Tapi kenapa gambar ini seperti sebuah film yang direkam dengan kamera?!" ujar Fandy, bicara kepada Sandhi.

Kumala menyahut. "Kedua bola matamu adalah kamera yang bisa merekam alam gaib tanpa kau sadari."

Bulu kuduk Fandy pun merinding. "Benarkah kedua mataku adalah kamera?!" gumamnya pelan.

"Ya. Tapi rekaman gambarnya nggak bisa kau pahami, karena mata batinmu dalam keadaan tertutup. Kalau kau bisa menggunakan mata batinmu, maka setiap benda yang ada di alam gaib yang terlihat oleh kedua matamu itu akan terlihat pula oleh mata batinmu. Itulah sebabnya ada orang yang bisa melihat roh halus, tapi ada juga yang nggak bisa."

Sandhi menimpali dengan nada sedikit tegang. "Hei, lihat... ternyata titik hitam itu memang sebuah kapal!"

Pemuda berambut panjang itu terperangah. Kini monitor itu semakin memperjelas bentuk kapal yang sedang berlayar dengan tenang. Seperti kata-kata Kumala saat di teras tadi, bahwa kapal itu adalah kapal niaga bertiang layar dua. Dalam monitor pun terlihat kapal itu mempunyai dua layar besar berwarna putih polos. Tapi layar merentang tegang, menunjukkan bahwa kapal itu mendapat hembusan angin cukup besar. Jalannya pun semakin laju tanpa menggunakan dayung maupun mesin uap.

Tiba-tiba dari arah belakang kapal ada kabut yang bergerak seperti angin puting beliung. Kabut itu berwarna abu-abu dan bergerak memutar bagaikan gangsing. Layar monitor menjadi buram. Hati mereka menjadi tegang. Hanya si cantik Dewi Ular yang tetap tenang sambil duduk di bangku putarnya.

"Kabut apa itu?!" tanya Fandy sambil tangannya menuding hampir menyentuh layar monitor.

"Kita akan tahu sebentar lagi!" jawab Kumala. Kini jari-jari tangannya bermain di atas panel-panel keyboard dengan cepat sekali. Rupanya ia berusaha memperjelas gambar, tapi ternyata gambar masih tetap buram.

"Kabut itu memburamkan gambar. Coba singkirkan, Mala!" kata Sandhi.

Kumala Dewi berusaha menjernihkan gambar, tapi gagal. Ia menghempaskan napas dengan dahi berkerut, tampak serius sekali.

"Kabut itu bukan sembarang kabut," gumamnya setelah mendesah bagaikan membuang rasa kesal dalam hatinya.

"Maksudmu, kabut itu adalah kekuatan mistik dari alam lain?" tanya Fandy.

"Ya, tapi... kita lihat saja dulu. Apa yang akan dilakukan kabut itu?!"

Fandy merinding lagi. Jantungnya berdetak cepat sekali. Ia menarik kursi yang didudukinya agar lebih dekat dengan Kumala. Sandhi dan Buron serius, tapi tetap tenang. Sandhi mulai terpengaruh oleh ketegangan Fandy, sehingga matanya semakin dilebarkan dan hatinya ikut berdebar-debar. Tampak oleh mereka orang-orang di kapal itu masih tetap tenang. Para awak kapal tetap melakukan kegiatannya di atas geladak tanpa merasa terganggu oleh pusaran kabut yang semakin mendekati kapal tersebut.

Namun tiba-tiba permukaan air laut seperti permadani yang dikibaskan. Ombak datang bersama badai. Hujan turun secara tiba-tiba. Para awak kapal mulai tampak kebingungan. Terdengar teriakan-teriakan dari mereka yang tak begitu jelas artikulasinya.

"Gila! Kabut itu mendatangkan badai sebegitu kuatnya?!" gumam Fandy dengan suara bergetar.

Dalam keburaman gambar, Fandy dan yang lainnya masih bisa melihat kapal itu melambung tinggi terbawa ombak yang menggila. Bahkan adegan berikutnya, kapal itu seperti dilemparkan ke samping dalam posisi masih tegak. Tapi orang-orang di atas kapal itu semakin mengalami kepanikan. Mereka yang semula berada di kabin ataupun berada di lambung kapal, terlempar keluar dan berhamburan di atas geladak.

"Hei, ada perempuannya segala?!" seru Sandhi.

"Iya, tuh. Ada tiga atau empat sih?!" timpal Fandy.

Gambar semakin buram. Mereka hanya hisa melihat sosok kapal bertiang layar dua itu berputar-putar bagai ingin terhisap ke dalam pusaran arus air. Kilatan cahaya petir menyambar sekeliling kapal itu. Salah satu kilatan cahaya itu menghantam tiang layar bagian belakang, tiang layar itu patah dan tumbang. Dua orang awak kapal tertimpa tiang tersebut.

Jeritan dan suara kepanikan mereka sama seperti yang didengar Kumala di teras tadi. Akhirnya kapal itu pecah, para awaknya terlempar ke berbagai arah Yang masih hidup berusaha menyelamatkan diri dengan papan atau potongan kayu kapal. Tapi kabut semakin tebal dan gambar semakin buram.

"Wah, nggak kelihatan lagi," sentak Fandy, hampir saja tangannya mengusap layar monitor yang seperti mengandung embun itu.

Sebelum gambar itu hilang, Kumala berhasil memperbesar gambar potongan kayu. Kayu itu mempunyai tulisan: BINTARA 1898.

"Itu nama kapal tersebut!" ujar Kumala. "Angka di belakangnya menunjukkan masa pelayaran mereka."

"Gila! Tepat seratus tahun?!" suara Fandy mendesah pelan.

Tiba-tiba gambar hilang.

Blubss!

Komputer mengepulkan asap tipis dan menyebarkan bau sangit. Mereka pun tercengang tegang. Saling pandang tapi saling membungkam.

****

35. Musibah Sebuah Kapal✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang