[23]:Unbelieveable:

130 15 5
                                    

Selama perjalanan kembali ke Istana Negara, Diana lebih banyak diam di saat Julia terus terisak. Pohan berkata akan terus mengawal David sampai instruksi selanjutnya dikerahkan. Biar bagaimana pun, Pohan merasa bahwa dirinya harus bertanggung jawab melaksanakan tugasnya sebagai pengawal David, apa pun kondisinya hingga David sendiri yang meminta dirinya diberhentikan.

"Mama masih nggak percaya," lirih Julia sembari menggenggam tangan putrinya.

"Ma," panggil Diana lemah. "Aku juga nggak percaya Ayah bakal korupsi, Ayah orang paling jujur dan paling sederhana. Ternyata Erik tiba-tiba pulang, dia jadi deket sama aku lagi, ternyata dia mau nyelidikin Ayah diam-diam. Erik pasti keliru!"

Pikiran Diana tiba-tiba teralihkan pada memori lama, tentang dirinya dan Erik. Tentang persahabatan yang keduanya jalin sejak kanak-kanak.

"Jangan makan semua keripik kentang gue, Di! Duh, buset!"

"Tapi ibu lo bilang anggap aja rumah sendiri, jadi gue bisa habisin makanan lo," balas Diana jahil. "Lagian bentar lagi Lo bakal pergi ke asrama. Makanan lo mending gue habisin."

Erik terdiam, ia mengembuskan napasnya berat. "Nggak gitu konsepnya, anggap rumah sendiri sama nggak tahu diri itu beda."

Diana pun duduk dan menaruh keripik kentang yang hanya tersisa seperempat saja. "Kapan lo bakal balik?"

Embusan napas Erik semakin berat. Laki-laki itu pun terlentang di samping Diana yang sedang duduk di atas kasur di kamarnya. "Gue nggak tahu. Dan lo juga nggak boleh tahu."

"Pasti berat ya?" Tidak tahan, Diana kembali memakan keripik kentang tersebut. "Katanya pekerjaan semacam mata-mata dan tentara yang bertugas di daerah konflik itu pekerjaan paling sulit. Kembali hidup-hidup udah untung. Lo janji bakal tetep hidup kan?"

"Ya." Dengan satu gerakan cepat Erik sudah terduduk di depan Diana dan merebut keripik kentang yang masih berada di mulut Diana, dengan mulutnya. "Kalau gue balik, lo orang kedua yang bakal gue temuin selain ibu gue. Lo mau nunggu kan?"

Refleks Diana mundur, nyaris saja ia tersedak. "Lo ngapain sih?"

Erik pun tertawa lepas. "Balasan soalnya udah makan hampir habis semua keripik gue!"

Mengingat momen tersebut, membuat Diana kesal. Ia memukul kaca anti peluru mobil kepresidenan. Ia merasa dikhianati dan dipermainkan perasaannya oleh teman yang ia benar-benar percayai sepenuh hati. Erik kembali bukan hanya sekadar menemui dirinya saja. Ada maksud lain dan Diana tidak mencurigainya.

Julia menggenggam tangan putrinya lebih erat, agar tidak lagi memukul apa pun di sekelilingnya. "Kita hadapi sama-sama."

Dalam kurun waktu tertentu, penyidik biasanya akan memeriksa keuangan David. Mulai dari hal kecil seperti mutasi rekening sampai dengan mencatat apabila David membuka usaha baru di luar pekerjaannya sebagai presiden. Semua tertata rapih dan David berterus terang. 

Apakah David sengaja mencairkan uang tersebut dalam bentuk cash agar transaksinya tidak tercatat dalam rekening bank? Siapa saja yang terlibat dalam kasus ini? Tiga miliyar tidaklah sedikit tetapi Diana yakin ayahnya bukan orang mau melakukan apa pun demi uang.

Pertanyaan tanpa jawaban tersebut memenuhi pikiran Diana tanpa henti. Gadis itu pun akhirnya menghabiskan malamnya meringkuk di kamar, berharap esok hari ia bisa menerima kenyataan.

***

Mobil van putih ini berisi lima orang laki-laki. Supir, lalu Erik yang duduk di sebelah supir, David duduk di belakang dengan pengawalan dua orang di sisi kanan dan kiri. Tangan David diborgol. Besinya begitu dingin menyentuh kulit. Seumur hidup baru pertama kali pergelangan tangan David menyentuh besi borgol.

"Pak, mohon maaf sebelumnya. Saya hanya menyampaikan bahwa Pak Wijaya adalah salah satu orang yang berinisiatif untuk menyelidiki Bapak. Pak Wijaya juga menyuruh anaknya ini, Dek Erik, untuk menyelidiki Bapak secara langsung." Perjalanan mereka yang hanya ditemani suara mesin mobil serta deburan ombak laut, membuat si supir pun tak tahan untuk berbicara. "Padahal Pak Wijaya adalah sahabat Bapak sedari dulu. Saya jadi ingin tahu bagaimana perasaan Bapak?"

Mungkin saja maksud sang supir adalah mencairkan suasana yang tampaknya begitu tegang di dalam van ini. "Bagaimana ya, rasanya campur aduk," balas David disertai dengusan geli.
Erik menyandarkan kepalanya pada kursi mobil. Matanya melihat ke arah luar jendela. Enggan menatap David sedikit pun.

"Sejujurnya saya juga tidak menyangka Bapak akan melakukan korupsi ini. Dulu saya memilih Bapak di pemilu presiden. Saya percaya pada Bapak," ungkap supir tersebut yang terlihat masih ingin menyambung obrolan.

David tidak membalas. Sang presiden tak sanggup berkata-kata. Ia tertunduk sembari memejamkan kedua matanya. Meski sekarang David terlihat lemah, tetapi orang yang menjaga David di sisi kanan serta kirinya tidak mengurangi kewaspadaan keduanya sedikit pun.
"Sayang sekali ya, presiden yang awalnya saya harapkan akan kembali di periode kedua, justru—"

"Berisik! Banyak omong, gue nggak suka!" potong Erik disertai tinjuan keras yang membuat supir tersebut melepas kendali kemudinya. Dengan cekatan, Erik merebut stir kemudian mengarahkan mobil pada sebuah pohon besar di tepi jalan.

Seluruh orang di dalam mobil van hilang keseimbangan terkecuali Erik. Tentu saja, di dalam mobil ini, hanya ia satu-satunya yang pernah punya pengalaman selamat dari mobil terguling. Omong-omong, bertahan di mobil terguling masuk ke dalam pelajaran olahraganya di sekolah mata-mata.

Erik pun langsung saja meraih tubuh David dan melindunginya dari segala benturan. Dua orang yang bertugas mengawal David pun kini tidak memikirkan David. Mereka sibuk melindungi diri mereka masing-masing. Setelah mobil menghantam pohon dengan keras, tanpa memberikan sedikit kesempatan, Erik segera membuat sisa dua orang dalam mobil tersebut bernasib sama dengan si supir. Tidak lupa, Erik juga melepaskan borgol dari kedua tangan David.

"Astaga! Erik apa yang kamu lakukan, Nak?" teriak sang presiden. Kepala David masih berputar dan jantungnya seperti berhenti berdetak selama sepersekian detik akibat kecelakaan yang Erik perbuat.

"Ayo, kita nggak punya banyak waktu, Om." Bukannya membalas, Erik segera membuka pintu mobil dengan kasar, kemudian menarik David keluar dengan paksa. Tidak memberikan David waktu istirahat sebentar saja.

"Tidak, Nak. Saya nggak mungkin kabur!" Walau menolak, tetapi David tetap mengikuti tarikan Erik. 

Sesungguhnya, Erik sedikit takut menggeret paksa David. Di sekolah mata-mata, tidak pernah diajarkan bagaimana cara menggeret paksa presiden. Jelas saja Erik takut apabila David akan mengadu pada atasan Erik dan dengan mudahnya memberhentikan pekerjaan Erik. Meski Erik tahu, David bukan orang yang seperti itu.

Terkadang membawa perasaan pada misi hanya akan menghambat rencana. Namun, biar bagaimana pun Erik tetap laki-laki yang takut berbuat salah di depan ayah dari gadis yang ia sukai. Erik mengaduh ketika David nyaris tersandung akibat tarikannya yang terlalu kencang.

Ketika sudah mengumpulkan energinya kembali setelah kecelakaan, David pun hendak melawan. Pria itu berusaha menghentikan langkah kakinya dan itu membuat Erik juga ikut terhenti.

"Kalau Om nggak mau ikut, saya terpaksa harus buat Om pingsan," ancam Erik. Dibalik suara tegasnya, sebenarnya saat ini jantungnya berdegup kencang. Apakah Diana akan memaafkannya jika ia membuat David pingsan?

"Silakan. Lawan saya kalau bisa!" balas David sekaligus menantang. Walau David tahu bahwa Erik merupakan mata-mata yang jago berkelahi dan jelas sekali ia akan kalah, tetapi David masih tetap akan melawan.

Ketika Erik hendak melayangkan pukulannya pada leher David, tendangan kaki super cepat menepis pukulannya. Cengkraman Erik pada lengan David juga ikut terlepas. Terpaksa Erik mundur tiga langkah untuk menghindari tendangan lainnya.

"Sampai kapan pun, dan di situasi apa pun, gue tetap bodyguard David," ujar Pohan dengan heroik, bak ia tokoh utama dalam film pahlawan super yang datang terlambat. "Jadi kalau ada yang berani nyakitin dia, gue nggak bakal diam."

Erik mengacak rambutnya frustasi. "Duh! Apaan sih lo? Nggak usah banyak gaya!"

"Lo kenapa bisa terlambat tiga menit? Gue heran pas sekolah intelgen dulu, lo nggak pernah telat sama sekali. Ini hasil latihan lo selama empat tahun?" omel Pohan di detik-detik genting, seolah waktu takut padanya dan akan berhenti ketika mendengar omelannya.

"Dunia nyata nggak semudah di sekolah. Terus mobil KPK yang lain mana? Udah lo urus semua?" tanya Erik sembari mengelus telapak tangannya yang memerah hasil dari tendangan Pohan.

"Iya, udah gue urus semuanya."

"Mobilnya nggak lo masukin ke jurang kan?"

"Nggak. Gue cuma ledakin ban mobil mereka doang. Paling sekarang mereka lagi ganti ban."

"Tumben lo baik cuma mecahin ban doang."

David hanya memandang diam pembicaraan dua anak muda di depannya dan enggan menginterupsi. Melihat kebingungan David, Pohan pun segera merangkulnya. "Bapak, saya harap Bapak ikut kami berdua. Percaya pada kami," pintanya tanpa ada adegan menyeret hingga membuat orang nomor satu di Indonesia itu nyaris terjatuh.

"Kami tahu apa yang sedang terjadi dan apa yang Om hadapi," sambung Erik berharap kali ini David mau menyetujui ajakannya.

David pun menghela napas sebelum mengangguk pelan. "Baik. Saya ikut kalian."

Erik tidak bisa menyembunyikan senyumannya. Akhirnya ia bisa membawa presiden tanpa perlu membuatnya pingsan. Ia pun segera menaikan tangan setinggi mungkin, dan hanya dalam hitungan detik, sebuah kapal mini datang menghampiri mereka yang sedang berada di jalanan tepi pantai.

Sang kemudi kapal menaikan sedikit topinya, memberitahu wajah aslinya pada mereka bertiga. David tidak menyangka, bahwa pengemudi kapal tersebut adalah Saipul—dalang dari penculikan Eva yang saat ini masih menjadi buronan.

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 22, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The President's SaviorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang