[10]:Stupid Boy!:

341 73 18
                                    

KISAH INI FIKSI SEMATA, BERSUMBER DARI IMAJINAJIS.

DIHARAPKAN KEBIJAKAN PEMBACA.

NAMUN, TYDACK MENUTUP KEMUNGKINAN TERDAPAT BEBERAPA KESAMAAN DALAM KISAH NYATA KARENA MEMANG DISENGAJA.

***

Farid. Dia adalah tersangka sekaligus korban yang terbunuh dalam insiden penculikan Eva. Orang yang memberikan pesan kepadanya untuk mencegah revolusi yang sama sekali tidak ia mengerti. Dan karena kecerobohannya, rasa bersalah itu masih menyelimuti Diana. Menurutnya, kejahatan Farid tidak pantas mendapatkan hukuman mati. Farid masih berhak hidup dan memperbaiki dirinya.

Diana tidak kesulitan menemukan lokasi rumah Farid. Berita tentang penculikan Eva membuat semua perusahaan penerbit berita berlomba-lomba menyampaikan informasi terbaru. Ibunda Farid sempat viral selama tiga hari karena beliau mengaku Farid anak yang baik dan ia tidak menduga anaknya enam bulan kebelakang bergabung dengan sebuah organisasi kriminal.

Diana sempat ragu menjalani rencananya tapi mengingat firasat buruknya mengenai Saipul dan Sugeng, ia tidak bisa tinggal diam. Tanpa sepengetahuan kedua orangtuanya, Diana melayat ke rumah korban.

Pesan dari Farid adalah ia harus membaca surat wasiatnya di bawah lemari. Diana sudah pernah mengabaikan banyak surat. Termasuk surat-surat dari Erik. Ia berjanji tidak akan lagi mengabaikan sepucuk surat pun, apakah itu surat promosi properti atau surat hujatan untuk ayahnya. Penyesalannya yang membuatnya sampai ke titik sejauh ini.

Erik tidak mempercayainya sekaligus melarangnya melakukan penyelidikan mengenai kasus penculikan Eva. Ia tidak mungkin meminta bantuan teman-temannya yang tidak tahu apa-apa tentang pesan terakhir dari korban, meskipun Niken dan Karin mengetahui Diana ada di sana ketika penculikan Eva terjadi. Keputusannya menjalani misi seorang diri merupakan yang paling tepat. Diana ingin menemukan alur kepercayaannya sendiri sebelum memutuskan untuk menyerahkannya pada pihak yang lebih berwenang selain polisi. Yaitu ayahnya.

Pohan mengantarnya menuju rumah Karin pada Sabtu pagi. Diana hanya bilang akan mengerjakan tugas dan bermain. Pohan jelas sama sekali tidak curiga. Tetapi begitu memasuki rumah Karin, Diana langsung merebut handphone temannya itu dan memesan sebuah ojek online.

"Mau kemana lo?" tanya Karin yang belum sepenuhnya bangun dari tidurnya. "Kenapa nggak pesen lewat handphone lo aja sih."

"Handphone gue udah di-setting sedemikian rupa sama Tante Pohan, kalau-kalau gue bandel, dia bisa ngelacak gue tanpa perlu pakai GPS." Diana membuka lemari Karin dan mengambil beberapa baju. "Gue pinjem baju lo ya, nanti gue cuci."

"Ampun dah," ucap Karin malas dan memutuskan melanjutkan lagi tidurnya di hari libur.

Sebisa mungkin, ia tidak ingin terlihat seperti terakhir kali Diana berpakaian di mata Pohan. Berjaga-jaga ketika di jalan ia berpapasan dengan mobil BMW hitam yang setia menemani kemana pun Pohan mengawal Diana.

Kemeja berlengan pendek, topi baseball dan celana katun panjang Diana pilih untuk penyamarannya. Tidak akan ada yang menyadari dia adalah Diana Davidson-putri tunggal presiden yang masih sakit kaki. Orang-orang akan melihat dirinya seperti seseorang yang ingin piknik ke perkebunan dan memanen banyak raspberry.

Sentuhan terakhir, Diana memakai masker dan meninggalkan handphone-nya di rumah Karin. Semuanya aman.

***

Suasana rumah Farid sepi ketika ia sampai. Sudah lebih dari seminggu berlalu Farid dimakamkan, tapi bendera kuning masih berkibar di pagar rumah. Dengan hati-hati, Diana membuka pagar yang tidak dikunci lantas mengetuk rumah. Ketukan kelimanya berhasil membukakan pintu. Seorang wanita setengah baya memandang Diana penuh tanya.

The President's SaviorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang