[5]:Trust:

492 120 27
                                    

KISAH INI FIKSI SEMATA, BERSUMBER DARI IMAJINASI. 
DIHARAPKAN KEBIJAKAN PEMBACA.

NAMUN, TIDAK MENUTUP KEMUNGKINAN TERDAPAT BEBERAPA KESAMAAN DALAM KISAH NYATA KARENA MEMANG DISENGAJA.

***

Diana menyukai aroma karbol. Lebih alami dan membuatnya tenang. Khas sekali dengan rumah sakit. Para asisten rumah tangga di Istana Negara tidak pernah menggunakan pembersih lantai beraroma tersebut. Mungkin ada benarnya juga, mereka ingin membedakan antara rumah sakit dan tempat bernaung presiden.

Selang infus tertancap di tangannya. Ia risih sekali tapi tidak berani mencabutnya. Terakhir kali ia dirawat di rumah sakit adalah ketika sekolah dasar karena penyakit DBD. Sejak saat itu, Diana tidak pernah merasakan kasur putih rumah sakit. Dan ini merupakan kali kedua ia tertidur di kasur ini.

"....saya hanya ingin anak saya bersekolah pada umumnya. Saya ingin anak saya membaur seperti anak-anak seusianya. Tetapi mungkin Indonesia tidak aman untuknya. Kasus ini akan ditangani pihak berwajib. Mohon maaf saya belum bisa memberikan keterangan banyak. Terima kasih atas perhatian serta dukungan masyarakat semua."

Diana menyaksikan pidato terbaru Yudis dari televisi ruangan rawat inapnya. Mata Yudis terlihat lelah dan juga kentara sekali sehabis menangis. Ia mengira bahwa penculikan serta ancaman bagi para politikus hanya terjadi di film-film aksi. Diana tidak pernah berpikir bahwa hari ini Indonesia akan mengalami hal tersebut.

Pintu ruangan kelas satunya dibuka perlahan, menampakan Erik yang membawa beberapa kresek berisi cemilan. "Baikan?" tanya Erik sambil meletakan kresek itu di nakas.

"Lumayan," balas Diana singkat.

Erik menggeret kursi pendek yang berada di sudut ruangan dan meletakannya di samping kasur. Mereka tidak saling bicara selama beberapa menit. Tidak pula memakan atau meminum cemilan. Tidak juga menyentuh handphone. Keduanya terdiam lama, berkutat pada bayangan masing-masing.

"Yang tadi itu... jangan diulangi lagi," ucap Erik lemah, ada sorot khawatir di matanya. "Harusnya lo berlindung di tempat yang aman, bukan ikut nyerang. Gue itu mata-mata, udah terlatih. Beda sama lo, Di."

"Gue nggak bisa diem aja ngelihat lo dikeroyok," potong Diana sembari bangkit duduk menghadap Erik dari posisi tidurnya yang nyaman. "Memangnya lo doang yang lebih kuat? Gue juga. Gue bisa manah sekarang, dulu belajar nembak juga tapi berhenti karena memanah lebih keren aja."

Alis tebal Erik terangkat satu. Senyuman miring menghiasi wajahnya. "Lo berarti udah jago nembak? Bisa dong nembak gue?"

"Makin dewasa makin berisik lo, Rik," sergah Diana. "Gue nggak mau kayak dulu. Gue cuma bisa nangis lihatin lo dihajar, berlindung di balik bodyguard, gue mau juga bisa melindungi."

Diana jelas mencoba mengingatkan Erik tentang kejadian di Moskow. Kejadian yang membuatnya bertekad untuk kursus menembak, mencoba berbagai bela diri dan yang paling ia sukai sekarang adalah memanah.

"Diana!" David membuka kasar pintu kamar rawat inap yang ditempati putrinya. Erik dan Diana terkejut bukan main. Julia pun datang setelah David memasuki ruangan sebanyak tiga langkah."Separah apa?" tanyanya yang kemudian merangkul kedua pundak Diana.

"Aku masih mampu meluk Ayah sampai sesak," ucap Diana santai. Kedua tangannya mendekap kuat David tanpa ampun, membuktikan bahwa ia baik-baik saja dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan kedua orang tuanya.

"Astaga...." Kini bergantian Julia memeluk anak semata wayangnya. Matanya berkaca-kaca, tapi ia berusaha menahannya karena kekuatan yang Diana isyaratkan lewat pelukan.

The President's SaviorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang