[9]:Bald Headed Man:

367 82 34
                                    

KISAH INI FIKSI SEMATA, BERSUMBER DARI IMAJINAJIS. 

DIHARAPKAN KEBIJAKAN PEMBACA.

NAMUN, TYDACK MENUTUP KEMUNGKINAN TERDAPAT BEBERAPA KESAMAAN DALAM KISAH NYATA KARENA MEMANG DISENGAJA.

***

Sempat terjadi perdebatan antara Diana dan Pohan selama lima menit. Diana menolak Pohan menjemputnya karena ia sudah berjanji akan makan siang bersama Erik hari ini. Tapi Pohan bersi keras untuk menjemputnya dan mengawasi Diana selama mereka makan. Pohan tanpa peduli rasa tersinggung, menyatakan bahwa ia tidak percaya lagi pada Erik semenjak kejadian penculikan Eva. Diana sebenarnya tidak terima Erik dipandang seperti itu oleh Pohan, tapi ia tidak ingin lama-lama berdebat yang ujung-ujungnya malah membuat acara makan siangnya batal.

Diana pun akhirnya menurut dan pasrah diantar Pohan hingga ke tempat pertemuannya dengan Erik. Pohan juga ngotot akan menunggunya sampai ia selesai. Walaupun cukup ketat, tapi Pohan tidak ingin terlalu mencampuri aktifitas privasi Diana. Ia tidak ingin Diana kehilangan masa mudanya bersama teman-teman, tapi ia juga tidak mau Diana terluka.

"Ngapain pakai masker? Sok ngartis." Cemoohan Erik menyambut kedatangan Diana di salah satu tempat duduk di sebuah restoran yang didominasi anak muda. Baik dari pelanggan mau pun pelayan.

"Gue lebih terkenal dari artis," balas Diana berlagak sombong.

"Oh, siap." Erik mengacungkan jempolnya untuk Diana.

Tidak lama, seorang pelayan menghampiri mereka dengan note kecil dan pulpen. Pelayan tersebut membuka buku menu yang sebelumnya sudah tersedia di atas meja dan langsung merekomendasikan menu terbaru. Tetapi Diana menggeleng, menolak menu baru itu.

"Jadinya kamu mau pesen apa, Sayang?" ucap Erik kencang-kencang, membuktikan omongannya tadi di telepon. Diana ingin memukul kepala Erik menggunakan buku menu yang ia pegang tapi ia menahan diri.

"Air putih sama roti tiramisu bakar," kata Diana sambil menyerahkan buku menu kepada pelayan yang tengah mencatat pesanannya.

"Kalau Mas?" tanya pelayan itu setelah selesai mencatat pesanan Diana.

Erik bergumam cukup lama lalu berkata, "Kamu yang pesenin dong." Ia menyodorkan buku menu yang sedari tadi hanya ia bolak-balik saja. Diana menerima buku menu tersebut dengan muka masam, jauh berbeda dengan Erik yang tersenyum lebar.

"Namanya juga cowok. Sukanya diurusin sama cewek. Iya kan, Mbak?" celetuk Erik dan pelayan itu hanya mengangguk canggung.

"Oke." Diana menutup buku menu padahal belum genap sepuluh detik ia membaca. "Saya pesenin dia paket ayam penyet pedes geledek."

Pelayan itu segera mencatat pesanan Diana. "Minumnya?"

"Nggak usah," ujar Diana tegas.

Erik dan pelayan tanpa tanda pengenal itu sama-sama menatap Diana heran. Yang ditatap hanya pura-pura tidak peduli.

"Diulang pesanannya...." Pelayan tersebut mengulang semua pesanan dan beranjak setelah Diana mengkonfirmasi pesanannya benar.

"Bapak Saipul." Erik melempar sebuah map ke atas meja. Entah sejak kapan map itu ada di tangannya. "Berdasarkan hasil wawancara para tersangka penculikan Eva yang masih selamat, mereka bilang, Saipul yang nyuruh anak buahnya nyulik Eva. Sekarang masih buron."

Profil Saipul menjadi halaman pertama dari isi map yang Diana buka. Jantung Diana berdebar cepat dan tangannya sedikit gemetar. Foto Saipul dengan kepala plontos terpampang jelas di pojok kiri atas halaman pertama. Tatapan tajam dan kepala plontosnya tidak asing lagi bagi Diana. Saipul adalah orang yang tak sengaja ia lihat sedang berbicara dengan Sugeng di kantor polisi tempo hari. Meskipun foto Saipul terbatas hanya sampai leher bagian bawah saja, tapi Diana dapat membayangkan jelas bekas luka berbentuk tapak kuda di tangan Saipul.

The President's SaviorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang