⚠️[15]:President's Photo:⚠️

238 31 6
                                    

⚠️CHAPTER INI MENGANDUNG TINDAKAN PENCEMARAN NAMA BAIK, JANGAN DITIRU⚠️

KISAH INI FIKSI SEMATA, BERSUMBER DARI IMAJINASI. DIHARAPKAN KEBIJAKAN PEMBACA.

NAMUN, TIDAK MENUTUP KEMUNGKINAN TERDAPAT BEBERAPA KESAMAAN DALAM KISAH NYATA KARENA MEMANG DISENGAJA. 

***

Semalaman Diana tidak nyaris tidak bisa tidur. Wawancara terhadap seluruh penculik Eva sudah selesai dan hasil wawancara sudah dipublikasikan di media. Diana mengira dengan tertangkapnya para penculik Eva, semua akan lebih baik. Tetapi nyatanya, ayahnya kini tengah diserang. Banyak yang berspekulasi jika ayahnya adalah dalang penculikan Eva dan menyuruh orang-orang yang mendukungnya untuk menculik Eva. Terlebih para tersangka penculikan Eva, terlihat begitu fanatik terhadap ayah Diana.

Sengaja Diana berangkat ke sekolah lebih pagi. Diana memerlukan pemicu untuk mengantuk. Biasanya Diana akan mengantuk ketika mendengarkan gurunya mengajar pelajaran Bahasa Indonesia. Atau menyuruh Karin menceritakan apa pun supaya Diana bosan dan mengantuk.

Akan tetapi, sesampainya di kelas, Diana justru tidak ingin tidur sama sekali. Di depan kelas, foto ayahnya sebagai presiden dicoret dengan spidol merah tebal. PENCULIK. Itu kata yang ada tepat di wajah David. Foto David yang bersanding dengan lambang pancasila serta Nugroho--wakilnya, tampak begitu memprihatikan. Seperti dicemarkan dan direndahkan.

"Diana, maaf gue nggak tahu siapa pelakunya," ujar Tobi, si Ketua Kelas. Laki-laki itu terlihat ragu-ragu mendekati Diana yang mematung. "Kita bisa cari tahu pelakunya. Kita laporin ini ke--"

"Nggak usah" tolak Diana. "Jangan lapor ke siapa-siapa."

Di kelas ini, baru diisi oleh tiga orang. Diana, Tobi dan Mukti. Tiga orang pertama yang datang. Sebelum teman-temannya yang lain datang dan terjadi kehebohan, Diana pun ambil tindakan.

"Mukti, tolong print foto bapak gue ya. Pakai kertas yang tebel print-nya. Ukurannya disamain sama figura itu." Diana menunjuk figura yang melapisi foto sang ayah. "Tobi bantuin gue bongkar figuranya. Kita harus gerak cepet. Nanti keburu anak-anak lain datang."

Mukti pun langsung angkat kaki dalam hitungan detik. Bahkan ia berlari menuju tempat photo copy. Sementara itu, Tobi menaiki kursi untuk mengambil foto presiden yang dipasang tinggi di atas white board. Hati Diana sesak memandang wajah ayahnya dicemarkan seperti ini. Tidak terbendung, Diana pun meneteskan air matanya sewaktu membuka figura.

"Apa lo yakin nggak mau ngelaporin hal ini? Tindakan ini kan ada hukumnya soalnya mencemarkan nama baik presiden," saran Tobi.

"Gue nggak mau orang-orang itu terlibat hukum. Kalau mereka dari keluarga kurang mampu, mereka nggak bisa nyogok dong." Kemudian Diana tertawa, menghibur dirinya sendiri dengan humor sarkas. Air matanya yang mengalir di pipinya seakan memudar oleh senyumannya. "Kalau mereka pelajar, mereka nggak bisa sekolah lagi. Apalagi kalau pelakunya guru, gue nggak mau sampai dipecat."

Tobi bertolak pinggang. Ia seperti bersiap untuk mengomeli Diana. "Eh, namanya hukuman harusnya nggak pandang bulu! Hukuman itu biar mereka jera dan nggak seenaknya berbuat sesuatu ke elo dan bapak lo."

Diana merasa bersyukur, ia mempunyai teman-teman yang baik. "Trims udah kasih masukan. Tapi gue rasa ini bukan hal besar. Gue juga sebenernya kesel banget, tapi gue harus baik-baikin citra gue dan bokap gue. Bentar lagi pemilu."

Tobi tahu, Diana mencoba untuk tidak sedih di pagi ini. Meski Tobi masih ingin memaksa sarannya, tapi isi hati dan pikiran Diana sekarang lebih penting. "Widih! Pencitraan terus sampai uler jalannya lurus!" canda Tobi yang pada akhirnya membantu menghibur Diana.

The President's SaviorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang