[18]:Over:

122 29 3
                                    

KISAH INI FIKSI SEMATA.
DIHARAPKAN KEBIJAKAN PEMBACA.

NAMUN, TIDAK MENUTUP KEMUNGKINAN TERDAPAT BEBERAPA KESAMAAN DALAM KISAH NYATA KARENA MEMANG DISENGAJA.

***

Seketika Pohan melepaskan kunciannya dari Diana. Dalam keramaian acara pemilihan nomor urut, ada kesunyian yang terjalin antara Pohan dan Diana. Keduanya saling tatap dalam diam selama beberapa detik.

"Gue terpaksa!" ungkap Diana.

"KENAPA?" bentak Pohan.

"Ada rumor yang bilang Gio bakal ditembak hari ini," ujar Diana.

Pohan meraih pundak Diana. "Dari siapa rumornya?" Pertanyaan Pohan, Diana diamkan. Ia tidak ingin Pohan tahu jika ia dan Rendra bekerja sama. "Di?" panggil Pohan memaksa.

"Aku nggak tahu, Tante. Mereka ngirim pesan-pesan teror di Instagram aku dan Rendra. Katanya salah satu kandidat capres bakal ditembak malam ini. Dan kemungkinan besar Pak Gio—ayahnya Rendra yang bakal jadi korban," ucap Diana mengarang cerita tercepat yang paling masuk akal.

Diana tidak mungkin mengatakan bahwa ia bekerja sama dengan Erik memantau keadaan di sekitar hotel. Erik dan timnya bertugas di bagian luar, sedangkan Diana di bagian dalam. Tentu saja Erik beserta timnya tidak bisa memantau keadaan di dalam hotel karena hanya tamu undangan saja yang diperbolehkan masuk. Diana pun akhirnya mengajukan diri menjadi pemantau di area ruangan acara dan melaporkan pada Erik jika ia melihat sesuatu.

Pohan mengembuskan napas panjang. Ia menyandarkan tubuhnya pada besi penyangga lampu sorot. "Lo harusnya bilang sama gue. Gimana kalau lo malah disangka jadi perusak acara pemilihan nomor urut? Lo pakai pakaian serba hitam, bawa panah, dan sembunyi di atap-atap ruangan. Kurang mencurigakan apa?"

Melihat Diana yang takut akan omelannya, Pohan pun segera beranjak. "Ganti baju lo."

Diana mengangguk patuh. Sambil membereskan anak panah serta mengganti pakaiannya, Diana merasa bersalah. Di satu sisi ia menyesal sudah membohongi bodyguard yang ia anggap sebagai keluarganya sendiri. Tapi ia ingin menemukan kebenarannya sendiri tanpa melibatkan orang dewasa.

Sekembalinya Diana dari tempat persembunyian di atap-atap ruangan tempat diselenggarakannya pemilihan nomor urut, gadis itu langsung disambut oleh Eva. "Diana, kamu enggak apa-apa? Kamu diare?" tanya Eva khawatir.

Diana tertawa kecil. "Nggak kok. Gue udah ngerasa lebih baik," balasnya yang lagi-lagi berbohong.

Ternyata pemilihan nomor urut telah berada di ujung acara. Para penonton, wartawan dan juga pembawa acara pun satu-persatu bergegas meninggalkan ruangan. Diana, Eva serta Rendra mengikuti arahan Pohan serta bodyguard lain keluar dari backstage. Di luar hotel, masing-masing orangtua mereka menunggu. Mereka pun melakukan proses foto beberapa kali di depan para wartawan sebelum akhirnya pulang.

"Kami duluan ya," pamit Yudis sambil menepuk pundak Gio dan David berganti.

"Mari! Hati-hati di jalan," balas David ramah, sementara Gio hanya tersenyum.

"Diana...." panggil Eva pelan.

Melihat wartawan masih menyorot mereka, Diana pun membalas tidak kalah pelan. "Iya?"

"Kamu deket sama Rendra?" bisik Eva sambil menutup mulutnya dengan salah satu tangan, agar para wartawan tidak bisa menangkap pergerakan mulutnya. "Deket dalam artian lain," lanjut Eva.

Diana terkejut namun, menahan ekspresi terkejutnya. "Nggak! Itu nggak mungkin. Kita cuma temen," ucap Diana yang juga berbisik.

"Oh, aku kira...." Eva mengangguk mengerti. "Soalnya tadi kamu kelihatan khawatir banget sama Rendra."

The President's SaviorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang