[22]:Ruined:

128 26 5
                                    

KISAH INI FIKSI SEMATA.
DIHARAPKAN KEBIJAKAN PEMBACA.

NAMUN, TIDAK MENUTUP KEMUNGKINAN TERDAPAT BEBERAPA KESAMAAN DALAM KISAH NYATA KARENA MEMANG DISENGAJA UNTUK SARKAS BELAKA.

***

Diana belum dinyatakan lulus. Tetapi kedua orangtuanya yakin bahwa Diana akan lulus serta mendapatkan hasil ujian yang memuaskan. Diana meragukan hal tersebut terutama pada pelajaran Matematika. Meski begitu, Diana bersyukur bahwa baik David dan Julia, tidak mempermasalahkan perihal hasil akhir yang akan ia dapat.

"Kalau aku dapat 50 di pelajaran Matematika gimana? Ayah malu nggak?" tanya Diana sembari menyibak poninya untuk yang mungkin seratus kali di sore ini. Angin di pantai bertiup sangat kencang, membuat rambut Diana yang sudah terikat menjadi tidak karuan.

Sebagai perayaan, hari libur ini mereka habiskan bermalam di Lombok. Presiden sudah mengatur jadwal ini dari jauh-jauh hari sehingga Diana tidak bisa menolak. Walau hari ini ia juga sangat ingin ikut dengan teman-temannya memanah sebagai perayaan selepas ujian.

"Malu? Biasa aja," balas David santai. "Kamu tahu jalan tol yang ayah bangun di Jawa, Papua dan juga Sulawesi?"

Diana mengangguk bersemangat. "Aku tahu."

"Hasil akhirnya, beberapa bahan makanan harganya turun karena tidak ada alasan kesulitan transportasi mengantarkan bahan-bahan makanan dari desa ke kota." David tersenyum mengingat kesuksesannya itu. Tetapi senyuman David memudar dengan cepat. "Buat Ayah sendiri. menjadi pemimpin itu nggak bisa diukur berdasarkan hasil akhir. Meskipun hasil akhir yang didapatkan bagus, pasti beberapa pihak tidak setuju dan enggan mengapresiasi."

Diana merangkul lengan David. Menyelimutinya dengan genggaman hangat. "Makasih, Yah. Udah berusaha sejauh ini. Banyak yang nggak suka sama Ayah di luar sana tapi Ayah harus inget kalau aku bakal suka Ayah, apa pun kondisinya."

"Oh, Ayah nggak nyangka kamu bakal bilang gitu."

Keduanya pun tertawa di sela-sela perjalanan mereka memutari pantai untuk yang ketiga kalinya. Air ombak menyapu kaki mereka yang tidak beralas dengan lembut. Tidak banyak pengunjung di pantai ini, privasi mereka terjaga. Tidak ada rombongan orang yang berteriak histeris sampai nekat mengambil foto. Hanya ada sejumlah nelayan yang tadi lebih tertarik berbincang dengan David dibandingkan mengambil foto bersamanya.

"Aku memang nggak setuju Ayah nyalonin lagi jadi presiden, tapi kalau itu rekomendasi para eksekutif dan keputusan banyak pihak, apa anak muda kayak aku bisa melawan keinginan orang dewasa?"

David geleng-geleng kepala sembari tertawa kecil. Ia begitu bangga melihat Diana sudah mempunyai pemikirannya sendiri. "Kamu tahu, anak muda seperti kamu itu sebenarnya jauh lebih bisa melawan kami."

"Gimana caranya? Harus demo dulu baru suara kita didenger?"

Diana serta David menghentikan langkah mereka di tengah pantai. Keduanya memandang lurus ke arah matahari yang akan terbenam. "Mungkin kalau Ayah bisa berhasil jadi presiden lagi, Ayah bakal buat forum khusus anak muda untuk mengatur aspirasi dan juga keluhan mereka. Tentunya forum itu akan dilakukan di tiap kota dengan walikota sebagai yang akan mendengarkan terlebih dahulu sebelum disampaikan pada presiden. Apa forum itu bisa mengurangi aksi demo? Menurut anak muda seperti kamu bagaimana?"

Tidak seharusnya dari awal Diana tidak menentang pencalonan diri David. Ayahnya rendah hati, mau mendengarkan saran serta memikirkan semua pihak dalam mengambil keputusan. Selama ini Diana cuma memikirkan dirinya sendiri yang enggan menjadi sorotan, padahal bila David kembali menjadi presiden, mungkin saja ada masa depan lebih baik bagi Indonesia. Dan ia tidak boleh egois mementingkan keinginannya sendiri.

The President's SaviorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang