[7]:Stay:

372 111 18
                                    

KISAH INI FIKSI SEMATA, BERSUMBER DARI IMAJINAJIS. 
DIHARAPKAN KEBIJAKAN PEMBACA.

NAMUN, TYDACK MENUTUP KEMUNGKINAN TERDAPAT BEBERAPA KESAMAAN DALAM KISAH NYATA KARENA MEMANG DISENGAJA.

***

"Diana, beberapa teman sekelas kamu ada yang mengeluh tentang gaya berpakaian kamu yang...." Guru muda itu sengaja memanjangkan nada di akhir kalimatnya. Memberikan waktu untuk berpikir supaya gadis tiga belas tahun yang duduk di hadapannya ini tidak tersinggung dengan penyampaiannya. "....tidak sewajarnya dipakai anak-anak perempuan yang lain."

Diana mengernyit mendengar hasil berpikir beberapa detik Bu Elis—guru BK kelasnya. "Saya wajar kok, Bu. Rok saya tidak di atas mata kaki, saya selalu memakai sepatu hitam sesuai aturan, tidak menggunakan make up berlebihan."

Bu Elis mengembuskan napas panjang. "Ibu nggak melarang kamu menyukai hal yang kamu suka, tapi Ibu mohon dengan sangat, coba deh pakai sesuatu yang biasanya dipakai teman-teman kamu yang lain." Wanita itu mencoba berbicara sesantai mungkin. "Menurut Ibu, aksesoris yang kamu pakai cukup berlebihan untuk di sekolah ini, Diana. Cincin tengkorak, gelang serba hitam, dan kalurng hitam. Kamu datang ke sekolah bukan hanya untuk bergaya, bukan? Tapi untuk belajar."

"Masa iya, Bu?" tanya Diana masih tidak percaya. Memang dibandingkan teman-temannya yang lain Diana mencolok dengan cincin tengkorak, tiga gelang hitam serta kalung hitam. Tetapi baginya ini tidak berlebihan, aksesorisnya pun tidak terlalu besar.

Jemari Bu Elis membelai rambut lurus Diana. "Iya, Sayang," ucap Bu Elis lembut. "Oh, ya. Diana, berat badan kamu akhir-akhir ini naik ya?"

Pertanyaan Bu Elis membuat Diana bingung karena meloncati permasalahan utama. "Saya aja nggak sadar berat badan saya naik."

Bu Elis bangkit dari tempat duduknya dan merangkul Diana dari belakang. "Kamu bisa jujur sama Ibu. Jangan takut." Kata-kata Bu Elis begitu ambigu, Diana semakin bingung untuk menanggapi. "Apa benar kamu hamil?"

Diana menahan napasnya, tenggorokannya terasa sakit. "Hamil?" katanya setengah berteriak. "Kenapa Ibu bisa bilang aku hamil?"

Bu Elis mengelus punggung Diana yang sekarang naik turun dengan cepat. "Ibu dapat kabar dari teman-teman kamu. Mereka curiga kamu hamil karena melihat bentuk badan kamu yang makin gemuk. Kehamilan di usia kamu benar-benar sensitif jadi andaikan hal itu benar, pasti kamu menyembunyikan bukti dan nggak mau ada orang lain yang tahu."

"Kenapa Ibu percaya sama mereka?!" Spontan, Diana berdiri dan langsung menghadap guru BK-nya itu. "Gara-gara selera saya berpakaian kayak berandalan apa saya juga bertingkah tanpa aturan?"

"Ibu nggak percaya sama mereka, makanya Ibu tanya langsung sama kamu." Bu Elis menggelengkan kepala sambil terus meraih Diana. "Kamu tenang ya, pasti Ibu bakal luruskan semuanya."

Diana ingin membanting apa saja yang ada di depannya, tapi ia tidak ingin bertindak bodoh. Pelampiasan emosi bukan jalan keluar dari salah sangka yang ia alami. Ia kembali duduk di kursinya dan memegangi kepalanya yang terasa berat.

"Tunggu sebentar," pinta Bu Elis seraya berlalu dari hadapan Diana. Guru berambut ikal itu kembali membawa cardigan berwarna putih. Ia memakaikan cardigan tersebut di tubuh Diana tanpa meminta izin dan Diana pun hanya menurut karena seluruh sarafnya lemas.

"Nih, coba lihat." Bu Elis menuntun Diana berdiri di hadapan kaca yang dipasang vertikal di salah satu sisi tembok ruangan konsultan. "Kamu cantik, lho."

The President's SaviorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang