[8]:Accuse:

390 96 9
                                    

KISAH INI FIKSI SEMATA, BERSUMBER DARI IMAJINAJIS. 
DIHARAPKAN KEBIJAKAN PEMBACA.

NAMUN, TYDACK MENUTUP KEMUNGKINAN TERDAPAT BEBERAPA KESAMAAN DALAM KISAH NYATA KARENA MEMANG DISENGAJA.

***

Hasil rajutan Diana mendapatkan pujian dari Eva. Meskipun syal berwarna navy itu masih sangat jauh dari kata jadi, tetapi untuk takaran orang yang pertama kali merajut, rajutan Diana cukup rapih. Eva memperbolehkan Diana membawa pulang benang rajut berserta dengan beberapa alat merajut lainnya. Diana menerima semua itu senang hati dan tidak menunjukan rasa sungkan.

Walau baru beberapa kali bertemu, Diana tidak membuat sebuah batasan untuk Eva. Diana terbuka pada siapa pun dan ia menyetarakan dirinya seperti gadis tujuh belas tahun lainnya yang selalu antusias ketika merencanakan acara menginap di rumah teman. Ia berharap, Eva mengerti bahwa Diana sudah menghapus rasa sungkan pada pertemanan mereka.

"Makasih ya kalian udah mau berkunjung ke sini," Rani menemani Diana dan Julia melangkah menuju mobil pribadi presiden yang terparkir di halaman rumahnya. Eva pun berlari kecil menyusul di belakang setelah gagal membawa Stevi ikut bersamanya menemani tamu, karena Stevi sudah terlelap di kamarnya.

Melihat Diana dan Julia keluar dari rumah, supir serta seorang ajudan kepresidenan keluar dari mobil dan membukakan pintu untuk keduanya.

"Maaf kalau kami agak ngerepotin," balas Julia.

"Nggak sama sekali. Kapan-kapan main lagi ke sini ya?"

"Pasti."

Julia dan Rani berpelukan sebagai salam berpamitan. Diana sempat berpikir melakukan hal yang sama pada Eva tapi ia bisa tidak sefeminim itu.

Rani yang teringat sesuatu pun melepaskan pelukan eratnya dengan Julia. "Oh, sebentar. Kue brownies yang Stevi beli kan belum dimakan." Wanita itu balik badan dan masuk ke dalam rumah.

"Duh, padahal nggak usah, Bu...." Julia membututi Rani sembari terus mengucapkan kata penolakan secara halus.

Pintu mobil yang sudah dibukakan sia-sia. Namun, baik supir atau ajudan kepresidenan itu tidak menutup kembali pintu mobil.

"Tahu gitu kita ngelanjutin ngerajut lagi," keluh Diana yang lalu menguap. Perkiraannya, Julia dan Rani akan berbincang dahulu di dapur dan keluar dari rumah setengah jam kemudian.

"Diana," panggil Eva lembut. "Makasih ya. Selama tadi kamu ngejenguk aku, kamu nggak bahas soal kejadian penculikan aku kemarin."

Pengalaman diculik tentu bukan pengalaman yang ingin terus dikenang atau bahkan dibagikan kepada orang lain. Diana yang belum pernah mengalami kejadian itu tidak mengerti apa yang dirasakan Eva saat ini. Tapi ia berusaha mengerti dan tidak menggurui Eva. Mungkin baginya yang menyukai dentuman musik heavy metal memenuhi kamarnya, pengalaman diculik tidak terlalu buruk. Namun, bagi perempuan yang hobi merajut dan penurut dengan keputusan orangtua, pengalaman diculik pasti menimbulkan kesan trauma tersendiri.

"Hubungin aku kalau perlu bantuan. Lain kali kita ngerajut lagi," ucap Diana kendati ia tahu, Eva tidak akan semudah itu menghubunginya bila ia perlu bantuan.

"Dan... makasih. Buat semuanya," lanjut Eva dengan pandangan sayu.

"Sama-sama. Udah risiko seorang anak dari orang penting di negara," balas Diana agar lebih santai.

***

Bekas peluru di pahanya sedikit membuat Diana kerepotan di sekolah. Bukannya makin membaik, justru bertambah parah. Padahal kemarin saat ia menjenguk Eva di rumahnya, ia tidak begitu merasa kesakitan setiap melangkah seperti sekarang. Pohan berulang kali menawari Diana supaya mengantarnya sampai kelas tapi berulang kali Diana menolak. Ia hanya perlu berjalan lebih lambat dari biasanya dan tidak perlu membawa paspampres masuk ke dalam kelasnya.

The President's SaviorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang