1

102 11 5
                                    

Kukira dia sudah tidak akan menemuiku lagi. Kami teman dekat, memang. Teman yang dulu biasa bersama kemana-mana. Banyak menghabiskan waktu berdua di usia remaja. Nyatanya sekarang kami sudah sama-sama dewasa. Sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Aku sebagai pelukis sementara dia kabarnya bekerja di sebuah perusahaan swasta besar dengan posisi tinggi.

Kami sangat berbeda, sepertinya. Dari awalpun selalu dianggap berbeda. Aku lebih banyak diam sementara dia bicara. Aku lebih banyak tidak bergerak, dia bertingkah di sana-sini. Kami berlainan. Berlawanan. Tapi tetap berteman yang orang heran entah karena apa.

Itu karena sebenarnya kami sama. Mengerti satu sama lain. Tahu kapan memberi kesempatan diam dan bicara. Tak bergerak dan bertingkah. Kami tahu kapan waktunya. Makanya betah untuk bersama. Meski begitu nyatanya masa dewasa menghentikan semuanya. Aku sibuk. Dia pun sibuk. Sampai rasanya tidak ada dia dalam daftar orang yang kukenal. Begitu juga sebaliknya. Tapi malam ini berubah.

Cha Hakyeon, laki-laki berkulit hitam dengan leher panjang itu datang padaku. Muncul begitu saja tanpa pemberitahuan. Lalu menangis dalam pelukanku.

Aku segera mengajaknya masuk setelah kurasa cukup tenang. Tidak membiarkannya berlama-lama berada di tengah pintu apartemenku.

Begitu sampai di dalam, kuminta dia duduk di satu-satunya sofa yang kumiliki. Yang terletak di tepi ruangan tidak jauh dari peralatan melukisku yang memenuhi nyaris setengah ruangan. Apartemen ini habis terisi semua itu dengan tambahan ranjang, lemari dan dapur di sisi lain. Kamar mandi terletak di pojok belakang dengan pintu menghadap selatan.

"Minumlah." ucapku sambil menyodorkan sebotol air mineral padanya. Baru kuambil dari kulkas dan sudah kulepas segelnya.

Dia menerima air pemberianku. Meminumnya sebagian lalu kembali terisak sementara aku berdiri di hadapannya.

Pakaiannya berantakan, meski berupa kemeja. Tidak lebih rapi dari pakaian olahraga yang kukenakan dengan tambahan masker penutup hidung dan mulutku. Dia berantakan. Ya, berantakan. Begitu juga dengan ekspresi pada wajahnya.

"Maaf karena mengganggu malam-malam begini." gumamnya, "Padahal kita sudah lama tidak bertemu. Tapi memang hanya kau saja yang kuingat saat ini, Taekwoon."

Aku bisa mengerti hal itu. Dari dulu pun tiap kali ada masalah, jika bukan menyendiri dia pasti langsung mencariku. Menangis dalam pelukanku lalu melupakan semuanya setelahnya. Seolah masalahnya tidak pernah ada. Mungkin kali ini juga akan sama.

"Aku boleh menginap di sini tanpa menjelaskan masalahku dulu kan? Kumohon."

"Ya." jawabku, "Terserah kau saja. Nanti kau bisa tidur di sana."

Aku menunjuk ranjang besar tidak jauh dari kami. Jarang kugunakan karena aku sering tidur begitu saja di tempat aku bekerja. Jika di lantai maka di lantai. Jika di kursi maka di kursi. Karena biasanya aku bekerja dalam waktu yang lama lalu kecapekan sampai malas memindahkan diri ke atas kasur.

"Terima kasih." ucapnya, "Kau memang teman terbaikku, Taekwoon."

Teman terbaik? Benar, teman terbaik. Yang pernah dilupakan begitu saja karena berakhirnya masa remaja. Tapi tidak masalah. Bukankah aku juga tidak lebih baik darinya? Walau tahu kabarnya, tidak sekali pun aku datang menemuinya. Sepanjang hari setiap hari, aku mengurung diri di dalam ruang yang menjadi studio lukisku. Selalu di sini. Memang selalu di sini. Bahkan aku tidak ingat kapan terakhir kali aku bertemu sinar matahari.

***

Hongbin datang pagi-pagi sekali. Dia manajerku. Orang yang mengurus pekerjaanku. Usianya lebih muda dariku, itu sebabnya dia sempat sungkan padaku. Tapi itu dulu, saat dia masih menahan diri pada keegoisanku. Sekarang sudah berbeda. Lee Hongbin yang lebih menyerupai model dibanding manajer itu datang kemari untuk memarahiku.

"Apa kau belum puas juga menyusahkanku, kak Taekwoon!?" teriaknya setelah membuka pintu dengan kunci duplikat yang dimilikinya karena kebiasaanku yang menaikkan tekanan darahnya.

Sudah biasa dia seribut itu.

"Kubilang kau harus datang! Tapi kenapa lagi-lagi kau mengurung diri seperti beruang hibernasi!? Dasar artis sialan tidak tahu... diri." Omelannya melemah di ujung, mungkin karena melihat Hakyeon.

Dia yang semula marah bukan main berubah jadi heran seheran-herannya. Karena untuk pertama kalinya dia melihatku bersama orang lain yang tidak terkait pekerjaan dan keluarga.

"Kau... bersama pacarmu." gumamnya yang wajar salah menebak karena Hakyeon berada di atas ranjangku. Sementara aku sendiri baru selesai menyeduh kopi.

Hakyeon hanya temanku.
***

17:37
1 April 2018

*Ternyata tidak sesibuk yang kukira.

Motive [VIXX Leo N]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang