3

58 8 21
                                    

Hongbin akhirnya pergi setelah selesai mengeluh dan tidak mendapatkan apa-apa dariku. Tinggal Hakyeon yang masih berada di sini. Baru saja berpindah ke sampingku. Jongkok mengamati apa yang sedang kulakukan.

"Objek gambarmu selalu perempuan. Tidak berubah dari pertama kali kulihat semasa sekolah dulu." gumamnya.

Aku segera menoleh padanya. Dia membalas itu dengan senyum yang sejujurnya luar biasa manis menurut pandanganku. Dia memiliki kombinasi wajah polos dan tegas. Nyaman untuk dipandang berlama-lama.

"Apa karena kau sangat mengaguminya?" tebaknya, "Mereka memang indah. Aku bisa mengerti jika banyak seniman memilih mereka sebagai objek seninya."

"Bukan." jawabku.

"Bukan?" Dia tampak bingung, "Jadi ada alasan lain?"

Tentu saja. Lagipula laki-laki pun indah bagi yang memilih cowok sebagai sasaran orientasi seksualnya. Semuanya tergantung selera. Nilainya sama pada kedua gender.

"Perempuan lebih mudah kugambar. Entah kenapa." jawabku.

Kedua matanya sedikit melebar. Lucu.

"Hanya karena itu?" Dia bertanya.

"Ya."

"Tapi yang kau gambar selalu telanjang. Berarti nafsumu tinggi pada mereka kan? Kukira itu semacam pelampiasan keinginan seksual.

Kau mengagumi mereka. Sampai tahap tidak berani menyentuh. Jadi, sebagai penyaluran nafsu kau menuangkan khayalanmu pada gambar."

Yang benar saja. Kalau begitu bukankah seharusnya penisku selalu menegang saat bekerja? Aku tidak mengalaminya.

"Ternyata kau tidak begitu memahamiku." gumamku yang kembali sibuk dengan kanvas besar di hadapanku.

"Tapi semua orang pasti menebak begitu jika melihat semua karyamu."

Memaksa sekali. Seperti anak kecil saja. Seolah beberapa gambar yang tersebar di dalam apartemenku sungguhan bentuk lain dari nafsu frustrasiku. Justru orang sepertiku tidak akan bisa menggambar apa yang sangat kusukai. Kukagumi. Saking sukanya aku jadi tidak pernah puas pada hasilnya. Itu membuatku merasa tidak berbakat dan kesal sendiri. Karena itu, aku justru menghindari apa yang kusukai dalam memilih objek.

"Sudahlah. Jangan berisik. Aku sedang bekerja." pintaku.

"Kau sedang mengataiku bermalas-malasan, Taekwoon?"

Kapan aku mengatainya? Aku hanya melarangnya banyak bicara. Walau sebenarnya aku tidak benar-benar keberatan. Malah, sebenarnya aku menyukai suara yang memang sudah membuatku iri sejak bertahun-tahun yang lalu. Suaranya manly, walau tidak sangat besar. Enak didengar. Tidak seperti milikku yang kelewat lembut.

"Aku sudah terlanjur mengambil cuti." gumamnya yang mulai terdengar lemah.

Bukan ingin menangis kan?

"Seminggu." lanjutnya, "Aku berencana menghabiskan waktu selama itu untuk keliling Eropa dengan istriku."

Oh.

"Tapi... pengantin wanita yang ingin kunikahi membatalkan pernikahan saat kami sudah bertemu di dalam gereja."

Dia sungguhan menangis. Air matanya membanjir meski isakannya pelan. Kulihat itu saat meliriknya sekilas dan akhirnya tidak bisa melanjutkan pekerjaan. Mana mungkin aku bisa menggambar kalau dia dalam kondisi seburuk itu.

"Dia mengaku jatuh cinta pada laki-laki lain yang baru sekali ditemuinya. Dia mengaku seperti itu padaku. Di hadapan semua orang yang berada di dalam gereja.

Dia jatuh cinta pada laki-laki itu karena menurutnya enak diajak ngobrol. Mereka berhubungan lewat pesan. Dia jatuh cinta padanya lalu membatalkan pernikahan kami.

Padahal tinggal sedikit lagi. Tinggal sedikit lagi, Taekwoon. Seharusnya dia menjadi milikku."

Pasti menyakitkan sekali. Aku belum pernah berencana menikah. Belum pernah berada di dalam gereja dengan orang yang kucinta. Tapi jika sekadar perasaan gagal memiliki orang yang dicintai, aku tahu sesakit apa rasanya.

"Tidak apa-apa." lanjutnya sambil cepat-cepat menghapus air matanya, "Orang yang enak diajak ngobrol itu memang penting kan?

Aku bisa mengerti. Dia ingin menghabiskan waktu sampai akhir hidupnya dengan orang semacam itu. Akupun menginginkan yang sama.

Ya, orang yang enak diajak ngobrol itu penting sekali."

Tangisannya semakin menjadi-jadi meski ucapannya seolah sudah menerima keadaan. Dia justru semakin emosional sampai akhirnya bergerak memelukku. Mengerang dalam dekapanku.

Tidak ada yang bisa kukatakan. Karena pada dasarnya aku memang tidak pintar bicara. Tapi aku tahu dia akan mengerti. Lagipula yang dia butuhkan hanya pelukanku. Hanya keberadaanku. Lalu...

dia menciumku.

Hakyeon mencium bibirku yang tertutup masker. Menempelkan bibirnya dalam waktu cukup lama sementara aku hanya bisa diam menerimanya.

"Kau tidak menolak ciumanku." ucapnya setelah sedikit menjauh, "Sebelumnya pun begitu."

Benar, sebelumnya juga begitu. Dia pernah melakukan hal yang sama beberapa tahun yang lalu. Mencium bibirku yang biasa tertutup masker. Waktu itupun aku diam. Menerima begitu saja. Bahkan tidak menanyakan apapun setelahnya. Lalu, keesokan harinya kutahu dia berpacaran dengan salah satu perempuan cantik yang beberapa kali sudah kulihat sering bersamanya. Mungkin waktu itu dia menggunakanku sebagai lawan latihan mencium. Mungkin saja. Dan sekarang, sebagai pelampiasan.

"Ngomong-ngomong, kau masih sendiri kan?" tebaknya, "Biarkan aku bersamamu. Tinggal di sini. Selama yang kumau."

"Terserah kau saja." jawabku.

"Kau yakin?"

"Ya."

"Aku akan terus menempelimu."

Sudah jelas itu yang akan dia lakukan jika kubiarkan tinggal denganku. Dia memang begitu.

"Akan menganggapmu sebagai milikku. Mengucapkan cinta berulang kali padamu. Juga mencium bibirmu kapanpun kumau."

"Kubilang terserah kau saja."

"Benar? Itu janji. Akan kupegang jawaban itu."

"Ya." jawabku yang langsung membuatnya kembali mendekat sambil menarik turun maskerku.

Dia menciumku. Kembali mencium bibirku. Yang kali ini tanpa terhalang apapun.

***

10:16

2 April 2018




2 April 2018

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Motive [VIXX Leo N]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang