6

50 8 6
                                    

Siapa yang menyangka Hakyeon masih patah hati jika melihat keceriaannya saat ini. Dia sibuk memasak di dapur sambil tertawa sesekali sementara aku memberi pelukan longgar dari belakang tubuhnya.

"Aku ingat sekali. Memang itu yang selalu kau lakukan. Aku sampai berpikir, ya Tuhan laki-laki ini pasti alien di kehidupan sebelumnya." ocehnya yang langsung kembali tertawa.

Aku senang mendengar suara tawanya. Renyah.

"Ngomong-ngomong, Taekwoon..." lanjutnya, "aku senang jika bisa terus seperti ini."

"Seperti ini yang bagaimana?" tanyaku.

"Ngobrol. Mengenang masa lalu. Membicarakan masa depan. Juga menikmati yang sekarang.

Aku senang bisa tertawa karenamu."

"Jadi aku yang membuatmu tertawa?"

"Tentu saja." jawabnya, "Hanya denganmu aku bicara selepas ini."

Bukankah dia selalu bicara dengan lepas pada siapapun? Dia mudah mengutarakan pikiran dan perasaannya. Tapi... ya, memang hanya di depanku saja dia sungguh-sungguh bisa melakukannya. Bukan belagak bisa.

"Aku bisa mengeluarkan apapun tanpa banyak berpikir. Kau sungguh membuatku nyaman, Taekwoon."

"Sangat nyaman jika bersamaku?"

"Sangat nyaman."

Memangnya senyaman apa? Lebih dari saat dia bersama perempuan yang hampir dinikahinya? Sampai berani mengambil keputusan untuk menikah artinya dia yakin perempuan itu yang terbaik untuknya. Nyaman jika bersama dengannya. Lalu, lebih nyaman mana bersama dengannya dibanding denganku?

"Ngomong-ngomong, aku menemukan ini di dalam belanjaanmu." ucapnya sambil menunjukkan sesachet kondom yang baru diambilnya dari saku celana.

Kedua mataku langsung melebar sementara dia mematikan kompor lalu berbalik menatapku. Tersenyum.

"Kapan kau ingin memakainya?"

Itu...

"Tidak dalam waktu dekat ini." jawabku.

"Benarkah? Tapi kau begitu cepat membelinya. Sudah tidak tahan pada keseksianku?"

"Aku tidak berniat memakainya denganmu." sangkalku yang langsung membuatnya melempar benda itu pada wajahku dengan ekspresi sedih bercampur marah.

Dia melepaskan pelukanku yang masih melingkar longgar di sekitar pinggangnya. Berjalan cepat-cepat menuju ranjang lalu menelungkupkan diri di atas sana.

'Sungguhan marah?' batinku sambil menatapnya.

Tapi kenapa? Baru kemarin dia batal menikah sampai menangis sejadi-jadinya. Juga baru mulai hari ini dia berpelukan dan berciuman denganku. Yang dia cintai masih pengantin wanita yang batal dinikahinya kan? Apa salahnya jika kondom yang kumiliki bukan kubeli untuk berhubungan dengannya?

"Kau bodoh, Taekwoon!" teriaknya sambil menoleh padaku dengan wajah basah.

Dia menangis.

"Pacarmu marah dan kau hanya berdiri di sana!?" lanjutnya, "Apa kau tidak lihat aku sedang menangis!? Kemari! Tenangkan aku!"

Ya Tuhan.

"Cepat kemari!" Dia meninggikan teriakannya.

Manja. Sejak kapan dia menjadi kekanak-kanakan begitu? Tentu saja aku tahu dia tidak pernah sungkan menangis di hadapanku. Tapi bukan menangis karena yang semacam tadi. Lagipula... sudahlah. Kuturuti saja.

"Memangnya mau kau pakai dengan siapa benda itu!?" lanjutnya setelah aku sampai di sampingnya, duduk menatapnya.

Memangnya dengan siapa lagi?

"Kau milikku! Jangan coba-coba menyentuh orang lain selama aku masih hidup!

Tidak, bahkan setelah aku mati! Milikku harus hanya milikku!"

"Posesif." ucapku yang langsung membuatku meringis kesakitan karena dia mencubit pinggangku sambil menatap marah dan masih terisak.

Sakit sekali.

"Hentikan." pintaku.

"Kau harus menerima semua sifatku! Posesif atau apapun memang itulah aku!"

Aku juga tahu. Memangnya kapan aku menolak?

"Ada aku di sini, Taekwoon. Jangan memilih orang lain. Kumohon."

Dia pasti teringat pada mantan calon istrinya. Perempuan itu memilih orang lain. Meninggalkan Hakyeon setelah memberi penjelasan yang sekilas terdengar tak masuk akal.

"Tenanglah." ucapku, "Aku memang membeli kondom untuk kupakai denganmu."

"Tidak bohong?"

"Tentu saja. Memangnya ada orang lain yang bersamaku?"

Hanya dia juga yang berani menempeliku. Berani marah memintaku memilihnya. Selain dia siapa lagi? Tidak ada.

"Kalau begitu pakai sekarang saja." pintanya yang sempat membuatku terdiam.

Sejujurnya aku terkejut. Bagaimana mungkin dia memintaku melakukan itu padahal...

'Bukankah dia masih memikirkan perempuan itu?' batinku.

Atau karena terlalu memikirkannya dia justru ingin cepat-cepat mengabaikan rasa sakit hatinya. Berusaha sebisa mungkin mengganti keberadaannya. Dan itu dengan... menyerahkan tubuhnya padaku.

"Sekarang saja, Taekwoon. Menunggu pun memangnya apa yang ditunggu?"

Entahlah. Memangnya apa yang kutunggu? Waktu? Cinta? Atau apa? Seolah ada gunanya saja. Ya, lebih baik dilakukan sekarang saja.

***

17:13
2 April 2018

Motive [VIXX Leo N]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang