5

52 8 1
                                    

Hakyeon masih menempeliku meski sudah melakukannya dalam waktu yang lama. Dan yang kumaksud menempel sekarang adalah sungguhan menempel. Memeluk sambil merabai tubuhku.

Kami baru saja selesai makan siang. Hanya tinggal kami berdua karena Jaehwan memutuskan pulang setelah ikut mengisi perut di sini.

Hakyeon memaksaku diam di sofa dengan dia yang duduk menghadap padaku di atas pangkuanku. Dia betah merabaiku sambil menyapukan napasnya di sekitar leherku.

"Aku mencintaimu, Taekwoon." ucapnya kesekian kali.

Tidak sungguhan mencintai. Yang dirasakannya sekarang hanya rasa frustrasi karena kejadian kemarin. Kalau saja tidak ada patah hati, tidak mungkin laki-laki yang pernah berniat menikahi seorang perempuan mau menempelkan dirinya pada sesama laki-laki sepertiku. Dia butuh pelampiasan. Dan aku cukup baik untuk itu.

"Kubilang aku mencintaimu." ulangnya, "Kau harus membalas itu. Buat aku tenang dengan ucapan cinta darimu."

"Aku mencintaimu."

"Lagi."

Dia meletakkan dagunya di atas bahuku. Mengelus punggungku.

"Aku mencintaimu."

"Lagi. Ulangi lagi."

"Aku mencintaimu, Hakyeon."

"Ulangi sekali lagi."

Memangnya cukup jika hanya sekali lagi? Dia hanya akan terus meminta lebih.

"Kubilang ulangi sekali lagi, Taekwoon." paksanya sambil meremat kausku, "Ulangi. Aku butuh kata cintamu."

Dia tidak akan berhenti sebelum kuturuti. Bisa kurasakan dari suara memohonnya. Seolah itu suara rindu dari seseorang yang sudah lama tidak bertemu dengan orang yang dicintainya.

"Taekwoon!" Dia mulai merengek. Menjauhkan dagunya dariku.

Tatapannya menyedihkan sekali. Rapuh. Untuk beberapa saat kubiarkan dia menunjukkan itu di hadapanku. Sampai akhirnya kuturunkan masker dan langsung melumat bibirnya. Dia semakin meremat kaus pada punggungku hingga ada sedikit rasa tercakar di sana.

"Aku mencintaimu. Sangat mencintaimu, Hakyeon." ucapku begitu ciuman kami terlepas. Tapi di detik selanjutnya dia sudah balas menciumku. Menggunakan lidahnya yang terus bergerak bebas di dalam mulutku.

***

Kutinggalkan Hakyeon yang sedang tidur di dalam apartemenku. Semula dia berada di atas pangkuanku. Tertidur dalam pangkuanku. Kupindahkan tubuhnya ke atas kasur sebelum aku keluar untuk membeli beberapa belanjaan di mini market.

Benar, aku bukan jenis manusia goa yang takut keluar. Aku berani, hanya saja memang tidak suka melakukannya. Tapi saat merasa harus, tentu saja tidak ada alasan untuk bertahan mengurung diri.

"Cepat hitung, aku mau cepat pulang." pintaku pada petugas kasir yang terlalu berlama-lama menatap belanjaanku.

Wajar, memang. Dia pasti heran karena yang kubeli hanya benda-benda yang mengarah pada urusan dewasa. Tisu, permen, coklat, dan kondom. Gabungkan semua itu maka akan mudah dipahami.

"Kau... Taekwoon?" tebak petugas kasir setelah mendengar suaraku.

Tebakannya jelas tidak salah. Dia mengenaliku dari suaraku yang memang khas saking kalemnya. Aku Jung Taekwoon, cowok yang pernah satu kelas dengannya di salah satu mata kuliah. Entah siapa namanya, tapi aku sendiri bisa mengingat wajahnya. Perempuan cantik yang dulu sempat menyatakan cinta padaku.

"Penampilanmu tidak berubah." gumamnya yang mulai menghitung belanjaanku, "Tetap sangat buruk."

Tapi dia jatuh cinta padaku yang seperti ini. Berani menyatakan cinta padaku. Padahal tahu akan kutolak pada akhirnya.

"Apa semua ini untuk dipakai dengan pacarmu? Atau... sekadar dengan siapapun yang bisa kau pakai semalam saja?"

"Dengan istriku." jawabku yang langsung membuatnya mendelik kaget.

Dia masih mencintaiku.

"Te-ternyata begitu. Ternyata kau sudah menikah. Baguslah. Selamat atas pernikahanmu, Taekwoon."

Siapa yang sudah menikah? Pacar saja aku tidak punya. Yang ada di apartemenku sana hanya teman lama yang membutuhkan tubuh dan suaraku. Tapi daripada menjelaskan hal itu, aku memilih mengiyainya. Lagipula aku sendiri yang mengarahkannya.

"Terima kasih."

***

Hakyeon  terlihat luar biasa panik begitu aku sampai di dalam apartemen. Dia berantakan. Pucat dan bergerak kesana-kemari. Yang akhirnya segera menghambur memelukku sambil terisak.

"Kukira kau tidak akan kulihat lagi, Taekwoon."

Cengeng.

"Kau milikku kan? Jangan meninggalkanku. Tetaplah jadi milikku."

Nyatanya aku memang di sini sebagai miliknya. Tidak kemanapun. Hanya pergi sebentar untuk membeli keperluan.

"Sudah sore." ucapku, "Mandilah lalu siapkan makanan untukku. Aku mau melanjutkan pekerjaan dulu."

"Kau janji tidak kemana-mana lagi? Kalau mau pergi ajak aku.  Jangan kau tinggal sendiri. Atau setidaknya... berpamitan dulu. Dan cium dulu. Katakan kau akan kembali padaku."

Apa dia memang serapuh ucapannya itu? Kukira batalnya pernikahan kemarin tidak meninggalkan rasa takut sampai sebesar yang sekarang kulihat. Ternyata... sudahlah.

"Aku di sini bersamamu." ucapku, "Mandilah. Nanti kau boleh memelukku lagi setelah makan malam"

"Hanya setelah makan malam?" Dia protes.

Sekarang sudah sore. Tidak lama sampai makan  malam tiba.

"Aku yang akan memelukmu saat kau menyiapkan makan malam di dapur. Akan kutinggalkan sementara pekerjaanku."

"Janji?"

"Ya." jawabku sambil mengangguk beberapa kali.

Perlahan dia melepaskan pelukannya dariku. Berbalik dan menuju kamar mandi

Rapuh sekali.

***

13:33
2 April 2018

Motive [VIXX Leo N]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang