12

42 7 29
                                    

Dia benar-benar tidak bisa kuhindari. Perempuan itu, yang selama seminggu terakhir kuabaikan begitu saja. Aku sibuk dengan keberadaan Hakyeon. Melupakannya, meski tanpa masalah di antara kami berdua.

Sekarang dia berada di tempat yang sama denganku. Setelah melihat-lihat sekian lukisanku bersama kedua teman dan pengunjung lain, akhirnya dia berdua saja denganku di ruang lain di samping lokasi pameran. Ruang kecil tempat meletakkan beberapa keperluan yang berkaitan dengan pameran.

"Akhirnya aku bisa mengetahui nama aslimu." ucapnya yang berdiri di sampingku, "Jung Taekwoon. Tapi kau hanya mengaku sebagai Leo saat berkenalan denganku."

Ya, memang hanya mengaku bernama Leo. Aku tidak ingin dia mengetahui nama asliku karena dalam pekerjaanku kugunakan nama itu. Walau awalnya ingin kugunakan nama alias saja. Semua gara-gara Hongbin. Dia tidak membiarkanku menyembunyikan nama asliku.

"Apa kau memang tidak serius denganku, Leo? Maksudku... Taekwoon?"

"Serius tentang apa?" tanyaku.

Dia terdiam. Tidak mengucapkan apapun lagi selama beberapa saat. Sampai akhirnya dia tertawa sendiri.

"Ya, memangnya serius tentang apa." gumamnya, "Kita memang tidak memiliki hubungan apapun. Hanya bertemu sekali. Lalu ngobrol melalui pesan setiap hari.

Aku terbiasa dengan kenyamanan saat ngobrol denganmu. Sampai aku melupakan cintaku pada calon suamiku.

Aku membatalkan pernikahan kami, Taekwoon. Kubatalkan tepat saat acara itu nyaris berlangsung.

Di dalam gereja. Di hadapan banyak orang. Kupilih kau yang bahkan cuma sekali kutemui! Kubatalkan pernikahanku demi dirimu, Taekwoon! Karena aku jatuh cinta padamu! Aku sungguh jatuh cinta padamu! Dan aku tahu kau menyadari perasaan itu!"

Tentu, aku menyadari perasaannya padaku. Sudah kusadari bahkan sebelum dia mengakuinya padaku. Karena memang seperti itulah aku. Orang tidak perlu selalu bersamaku. Tidak perlu selalu bertemu denganku. Cukup ngobrol denganku. Melalui media apapun. Walau dengan omongan ngawur pun, dia atau siapapun akan tertarik juga padaku. Nyaman pada keberadaanku yang sekadar memberi respon sekenanya. Aku sudah terbiasa pada hasil semacam itu dari beberapa perempuan yang mengenalku.

Tebar pesona? Tidak. Aku tidak melakukannya. Semuanya hanya berasal dari obrolan ringan. Obrolan yang mungkin tidak penting sedikit pun. Tapi membuat nyaman dan lawan bicaraku jatuh cinta padaku. Itu bisa dibilang... bakat alamiku.

"Ya Tuhan, apa yang baru kukatakan  padamu?" lanjutnya yang mulai terdengar menyesal, "Kita tidak memiliki hubungan apapun kecuali sebagai teman ngobrol. Dan itupun sudah tidak ada lagi karena sepertinya kau tidak nyaman sejak mengetahui perasaanku padamu."

Tidak sepenuhnya begitu. Tentu saja aku tidak nyaman pada perasaan cintanya padaku. Hanya saja... tidak sesederhana itu.

"Kau tidak bisa membalas cintaku kan, Taekwoon?"

"Ya." jawabku yang hanya membuatnya terkekeh dengan raut sedih.

"Aku mengerti." gumamnya, "Maaf karena mengganggumu dengan perasaanku. Aku akan berusaha tidak melakukannya lagi.

Ya sudahlah. Aku akan pergi. Ngomong-ngomong, semua lukisanmu bagus sekali."

"Terima kasih."

Akhirnya dia pergi meninggalkanku sambil terkekeh dengan cara yang aneh. Dia patah hati kan? Karena aku.  Tapi aku tidak punya waktu untuk mempedulikan itu. Sudah ada hal lain yang harus kupedulikan. Hakyeon. Dia mendengar obrolanku dengan perempuan itu. Mendengar saat berdiri di dekat pintu. Kusadari keberadaannya karena kulihat bayangannya di lantai. Banyak yang dia dengar. Hampir seluruhnya. Lalu pergi begitu saja sebelum obrolan sialan tadi berakhir.

***

13:17
8 April 2018

Motive [VIXX Leo N]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang