14 [end]

74 8 31
                                    

Hakyeon terdiam. Walau tidak lagi menunjukkan ekspresi terkejut, tetap saja apa yang dia tunjukkan padaku terasa begitu mengkhawatirkan.

Dia diam. Terus-menerus diam. Sampai akhirnya melepas sabuk pengaman, turun dari mobil dan memintaku ikut dengannya masuk kedalam rumah.

"Tahun lalu ibuku berobat ke luar negri." jelas Hakyeon begitu kami berada di dalam rumahnya, "Sejak itu dia dan ayah menetap di sana. Tinggal bersama kakakku. Karena itu tidak ada siapapun lagi di rumah ini."

Jadi itu sebabnya aku tidak melihat ibunya seperti saat dulu aku kemari.

"Sebenarnya rumah ini akan kutinggali dengan istriku, kalau saja pernikahan itu tidak batal." Dia kembali menjelaskan.

Rasanya itu menusuk langsung pada jantungku. Seolah fakta batalnya pernikahannya adalah dosa tak termaafkan milikku.

Aku yang bersalah, memang. Aku yang merusak hubungan mereka. Dengan sengaja. Sadar tanpa paksaan. Tapi hal itu nekat kulakukan karena aku sungguhan jatuh cinta padanya. Benar-benar sangat mencintainya. Ingin memilikinya.

"Kamarku masih sama. Ayo masuk."

Dia membuka pintu kamarnya. Menungguku masuk lebih dahulu baru setelahnya menyusul dan menutup pintu.

Kenapa reaksi Hakyeon tidak sama? Sangat berbeda dari yang kuperkirakan. Bukankah seharusnya dia menangis sejadi-jadinya? Atau setidaknya mengamuk. Memaki sebanyak mungkin. Seburuk mungkin. Tapi nyatanya... aku sungguh tidak bisa membaca ekspresinya.

"Jadi, tolong ulangi lagi pernyataanmu." pintanya sambil mendorong pelan tubuhku sampai aku duduk di tepi ranjangnya, "Kau jatuh cinta padaku?"

Dia menanyakan itu? Memintaku mengulang pernyataan itu? Dengan wajah yang sulit kuartikan apa maksudnya? Dia... menakutkan. Demi Tuhan, luar biasa menakutkan.

Biar kuingat. Selama aku mengenalnya memang pernah sekali dia marah padaku. Entah saat itu karena apa.  Yang pasti dia memang marah.

Saat itu aku memilih diam. Tidak menjelaskan apapun setelah merasa percuma melakukan apapun padanya. Dia juga memilih diam. Menjauh dariku. Tapi tidak lama setelah itu dia menegurku. Menyapa. Mengajak bicara. Sampai akhirnya aku meminta maaf padanya lalu dia tertawa dan memelukku. Hubungan kami menjadi baik-baik saja setelahnya. Dan kali ini... apa akan sama?

Aku ingin hubungan kami baik-baik saja.

"Aku tanya apa kau jatuh cinta padaku, Taekwoon. Sejak kapan?" ulangnya.

Itu... tentu saja jawabannya adalah iya.  Aku memang jatuh cinta padanya. Sejak lama.

"Sejak bertahun-tahun yang lalu." jelasku, "Saat kita masih bersama sebagai teman dekat. Aku jatuh cinta padamu. Ingin memilikimu."

Sudah sejak saat itulah aku ingin memilikinya. Untukku seorang. Hanya saja aku berusaha sekuat tenaga melawan keinginan itu. Karena kami dari gender yang sama. Biar bagaimana pun aku orang yang sadar bahwa gay belum diterima oleh lingkungan kami. Aku hanya tidak ingin memberi masalah baginya. Dan lagi, belum tentu dia bisa membalas cintaku.

Tapi itu dulu. Pada akhirnya aku tidak peduli apapun lagi. Aku hanya terus semakin mencintainya. Ingin memilikinya. Dan berusaha mendapatkannya.

Aku terlanjur jatuh cinta padanya.

Ya Tuhan, sekarang rasanya sakit sekali. Lebih sakit dari saat kutahu kabar dia akan menikah. Ini jauh lebih sakit karena rasanya berbeda. Seolah tidak ada harapan lagi untuk mempertahankannya sebagai milikku. Dia marah padaku. Membenciku. Tapi dia harus tetap menjadi milikku!

"Maafkan aku." pintaku, "Kumohon maafkan aku."

Aku butuh maaf itu darinya. Benar-benar membutuhkannya. Aku tidak mau kehilangan dirinya.

Motive [VIXX Leo N]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang