2

64 9 16
                                    

Kesalahan pahaman tentang siapa Hakyeon bagiku selesai setelah si hitam itu menjelaskan pada Hongbin siapa dirinya. Hanya teman lamaku. Orang yang sudah lama tidak bertemu. Hongbin percaya begitu saja penjelasan itu. Bahkan langsung akrab dengannya setelah mendapat suguhan kopi sementara aku menikmati kopiku sendiri sambil melanjutkan gambar pada kanvas yang belum kuselesaikan sejak beberapa hari yang lalu. Kusandarkan pada dinding karena ukurannya yang terlalu besar. Hampir setinggi tubuhku.

"Jadi, kak Hakyeon..." ucap Hongbin, "Kau teman dekatnya kan? Yang kemana-mana selalu bersamanya. Kalau begitu, kau pasti tahu cara menanganinya."

"Menanganinya?"

Mereka membicarakanku seolah aku makhluk transparan di sekitar mereka. Seenaknya saja bicara tentang menanganiku. Padahal sekarang mereka duduk berjejer di atas sofa dan jelas-jelas bisa melihatku.

"Artis sialan itu selalu saja mengabaikan tanggung jawabnya." keluh Hongbin, "Aku sudah memperingatkannya berulang kali. Tapi tetap saja dia tidak mau mengerti!"

"Aku hanya tidak menghadiri pameran." sahutku tanpa mau repot-repot menoleh, masih sibuk menggambar bagian tangan dari gambar buatanku yang berupa wanita telanjang terlilit akar tanaman.

"Jangan mengatakan seolah tidak menghadiri pameran itu perkara kecil, kak Taekwoon!" Hongbin kembali mengeluh, "Acara itu diadakan untuk menunjukkan karya-karyamu pada pengunjung! Mereka datang juga agar bisa bertemu langsung denganmu! Tapi yang bisa mereka temui hanya aku!"

Bukankah itu sudah cukup? Dia juga manusia. Bisa bicara. Bisa menjawab. Jadi sudah biasa menggantikanku.

"Pameran itu... pameran lukisan?" tanya Hakyeon.

"Tentu saja. Kak Taekwoon seorang pelukis." jawab Hongbin.

Orang yang biasa menggambar dengan pensil dan menjadikan kebiasaan itu sebagai pekerjaan. Benar, aku hanya menggunakan pensil pada semua karyaku. Berapapun ukurannya. Berubah jadi semacam itu sejak 3 tahun terakhir. Dulu aku bisa menambahkan cat. Sekarang tidak lagi karena malas pada alat-alatnya.

"Dia sudah terkenal. Kukira sudah mau memunculkan diri di tempat umum. Tapi jangankan itu, keluar apartemen saja dia tidak pernah. Pakaiannya pun hanya baju olahraga dari atas sampai bawah.

Setiap hari. Kapanpun aku kesini hanya ada warna hitam, merah, atau putih. Dia juga memakai masker untuk menutupi sebagian wajahnya.

Entah ada apa dengan si sialan itu!"

Hakyeon malah terkikik mendengar semua ocehannya.

"Aku serius, kak Hakyeon. Temanmu itu menyusahkan sekali bagiku!"

"Ya." jawab Hakyeon, "Sejak dulu memang begitu."

"Sejak dulu memang begitu!? Maksudmu..."

"Taekwoon lebih suka menyendiri. Pakaian paling nyaman untuknya pun memang pakaian olahraga. Dia juga terbiasa menutupi wajahnya. Tidak pernah lepas dari masker."

"Yang benar saja. Lalu bagaimana dia bisa dikenal kalau dirinya saja disembunyikan dari orang lain!? Bagaimana caranya mendapatkan pacar!?"

"Kalau itu, anggap saja akulah pacarnya."

"Kalian pacaran?"

Hakyeon kembali terkikik.

"Bukan begitu." sangkalnya, "Kami teman dekat yang selalu bersama. Dia pelit bicara. Aku harus tahu apa yang dia mau tanpa perlu mendengar ucapannya. Saat orang lain membutuhkan sesuatu darinya pun aku yang menggantikan untuk bicara.

Karena itu, peranku sudah seperti pacar yang selalu mendampinginya."

"Itu bahkan terdengar seperti peran seorang istri."

Hakyeon mulai tertawa sejadi-jadinya. Dulu memang tidak sedikit yang mengatainya sebagai istriku. Dia biasa-biasa saja menanggapinya. Aku pun sama.

"Tapi itu dulu, Hongbin." jelas Hakyeon setelah cukup bisa menenangkan diri, "Sekarang kami hampir tidak pernah bertemu sejak mulai bekerja."

"Kalian masih terlihat akrab. Kau bisa menginap di apartemennya. Jika itu orang lain, dia pasti tidak akan membiarkannya."

Aku tidak suka ada orang lain di tempatku. Apalagi memakai kasurku. Milikku.

"Taekwoon memang selalu baik padaku." gumam Hakyeon.

"Aku bisa melihat itu. Ngomong-ngomong, kenapa matamu sembab. Semalam menangis? Pertengkaran rumah tangga dengannya?"

Hakyeon kembali tertawa sejadi-jadinya. Yang benar saja. Hakyeon menangis karena masalahnya sendiri. Bukan karena bertengkar denganku.

"Ini karena salah posisi tidur." jelas Hakyeon, bohong.

"Bukan karena menangis?"

"Tentu saja. Memangnya kalau semalam menangis, apa kau pikir sekarang aku bisa sesantai ini?"

"Benar juga."

Hongbin tertipu dengan mudah.

"Ya sudahlah. Aku senang kalian tidak bertengkar. Yang pasti sekarang aku ingin menyimpan kontakmu. Biar bisa kuhubungi."

"Sekarang belum tentu aku bisa menjadi perantara jika ada yang ingin bicara dengan Taekwoon." jelas Hakyeon, "Aku tidak selalu bersama dengannya seperti dulu."

"Tidak apa-apa. Kau orang yang menyenangkan. Aku hanya ingin ikut menjadi temanmu."

"Begitukah? Baiklah kalau begitu. Berikan ponselmu."

Hakyeon selalu mudah menambah teman. Selalu begitu.

"Ah iya, kak Hakyeon. Aku sungguh bersyukur kau ada di sini. Kau memberiku secangkir kopi.

Ini minuman pertamaku setelah ribuan kali datang kemari. Percayalah. Artis sialan itu selalu sibuk sendiri tanpa peduli tamunya butuh minum.

Air mineral saja tidak pernah disuguhkan."

Dasar banyak mengeluh. Kalau memang Hakyeon sepenting itu minta saja dia jadi pembuat kopi untuk semua tamuku. Itu juga kalau dia mau. Minuman saja diributkan.

***

04:59
2 April 2018



Motive [VIXX Leo N]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang