CHAPTER 11 : HALILINTAR DARI MEXOLAR

65 10 0
                                    


Minggu, 18 Oktober 1998.

Di pertengahan bulan ini sesuatu yang besar telah terjadi. Bagai di sambar halilintar. Aku mendapatkan kabar buruk dari Salman, sahabat seperjuangan Azam.

Saat itu Azam tengah berada di Mexolar untuk menyusun rencana konser nya. Siang itu telpon rumah ku berbunyi, segera aku angkat dan bertanya siapa di seberang sana.

Ternyata itu adalah Salman. Dia mengatakan bahwa suamiku jatuh sakit. Azam drop secara tiba-tiba, dan siang itu juga langsung dilarikan ke rumah sakit oleh mereka. Salman berkata bahwa Azam demam, dia mengigau mengelukan nama ku berkali-kali dalam mata terpejam.

Segera siang itu juga aku mengurus keberangkatan ke Mexolar, meminta Syifa mencarikan ku tiket pesawat secepatnya, lalu mendarat di negeri tempat suami ku tinggal.

Pukul dua siang aku sampai di Mexolar dengan menumpang taxi. Aku menyebutkan alamat rumah Azam di suatu perumahan elit di kota ini. Dengan perasaan yang tak karuan sejak meninggalkan Tevaga. Harap serta doa aku panjatkan pada Tuhan agar menjaga suami ku, sementara aku jauh darinya.

Berharap Tuhan mengurangi rasa sakit Azam. Tak tega rasanya aku mendengar pria itu sakit, apalagi melihat nya lemah tak berdaya. Aku ingat ucapan Salman tadi siang, dia mengatakan Azam terus memanggil ku yang tak berada disisinya.

Aku segera datang, Zam. Aku akan segera memeluk mu, ucapku dalam hati.

Sedikit penyesalan di dalam sanubari karena mengizinkan pria itu pergi ke negeri ini, walaupun beberapa hari yang lalu aku lihat kondisinya sudah lumayan sehat. Aku tak menyangka bahwa dia akan drop disini, Oh Azam-ku... kau begitu membuat ku risau memilu.

Taxi yang ku tumpangi berhenti id gerbang rumah mewah yang menjulang megah. Ku bayar taxi ku dengan mata uang Mexolar yang pernah di sisipkan Azam di dompet ku dulu. Segera aku berlari masuk ke dalam rumah suami ku membiarkan bodyguard Azam mengurus koper ku.

Pintu utama ku lewati dan segera, menerobos masuk ke dalam kamar yang berada di sisi kanan tangga. Kamar kami yang hanya beberapa hari di tempati. Ku lihat pintu kamar itu terbuka dan ada Salman disana.

Netra ku menangkap seseorang yang terbaring lemah di atas ranjang, matanya terpejam dan wajahnya begitu pucat pasi. Segera aku duduk di sisi tempat tidur meraih suamiku yang tengah lara.

Salman melihat kedatangan ku menghela nafas lega sembari berkata, "Dia sebut nama awak berulangkali, tapi tak juga buka mata. Saya bingung nak buat apa, sebab kata dokter dia ni pelik lah."

Aku menoleh ke arah Salman yang berdiri di ujung tempat tidur Azam. "Terimakasih, Salman. Kamu sudah menjaga Azam. Maaf jika merepotkan mu."

"No problem lah, dia tu dah macam saudara saya. Kalau begitu, saya pamit dulu lah. Titip Bang Zam ye?" kata Salman.

Aku pun mengangguk mempersilahkan pria yang lebih muda dari pada Azam itu keluar, meninggalkan kami berdua di kamar dan menutup pintu dari luar.

"Mara.... Asmara-ku...."

Ku dengar kini Azam mengelukan nama ku, tapi tak seperti biasanya. Suaranya yang lembut kimi berubah menjadi serak, seolah ada yang mengikat tenggorokan nya membuat Azam kesulitan mengeluarkan suara.

Betapa pilu hati ku mendengar suara yang begitu aku puja kini telah sirna, apalagi melihat wajah suamiku yang tak berseri.

"Mara... Asmaraku..." gumam Azam lagi.

98's DIARY ASMARA {END} ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang