CHAPTER 13 : GURAUAN PILU

52 9 0
                                    


Minggu, 03 November 1998.

Kami masih menetap di Mexolar karena jadwal pengobatan rutin Azam di lakukan disana. Aku pun setia menemani nya berobat, tak lupa memberi semangat pada Azam untuk sembuh. Mengingatkannya untuk rajin minum obat serta Radioterapi. Ku tinggalkan pekerjaan ku di Tevaga, tapi aku masih tetap menerima laporan dan mengawasi kondisi perusahaan dari sini.

Setelah mendapatkan izin dari ayah untuk merawat suamiku ku. Aku pun bisa lebih leluasa mengurus Azam. Walaupun dia protes dan meminta loyalitas ku di dedikasikan pada perusahaan, tapi aku dengan tegas menolak dan memilih mendedikasikan loyalitas ku pada suamiku saja.

Oh, ya. Azam juga masih keras kepala memegang teguh prinsip nya untuk terus bekerja, walaupun memang kondisi fisik nya sudah tidak selemah kemarin.

Aku tetap saja khawatir. Aku tidak mau dia jatuh sakit lagi, tapi kalian tau sendiri perangai pria ini. Dia sangat pandai merayu, mencairkan hatiku sehingga aku tak tega menolak keinginannya.

Iya, dia tetap menerima tawaran show, tapi dengan syarat: Aku harus ikut di setiap jadwal dia bernyanyi, atau show apapun itu. Dengan mudahnya Azam menerima persyaratan ku, katanya dia senang jika aku menyaksikan penampilan nya selalu. Hah... Ya, begitulah suamiku.

Jadi setiap hari pekerjaan ku hanya membuntutinya kemanapun dia pergi, seperti sekarang. Aku menunggu Azam selesai show back stage. Saat ini dia tengah mengisi acara musik nostalgia.

Cukup menyenangkan ternyata ikut dalam acara acara seperti ini, aku jadi mendapatkan banyak kenalan baru. Mulai dari rekan sesama musisi nya Azam, staf serta manager nya juga. Kini aku sudah akrab dengan mereka, walaupun tidak semuanya.

Performance lagu Mentari muncul lagi telah selesai. Suamiku pun kembali ke belakang. Seperti biasa, orang yang pertama dia cari begitu ke back adalah diriku. Jidan saja, manager nya sendiri dia abaikan. Betapa manja nya Azam-ku ini.

Azam mendudukkan diri di samping ku. Aku menyodorkan sebotol air mineral padanya, sebab ku lihat dia kelelahan dan nafasnya sedikit tersengal.

"Sudah cukup untuk hari ini. Ingat kondisi kesehatan mu," bisikku mengingatkan.

Azam mengangguk sambil meneguk air mineral itu. Setelah ini kami akan langsung pulang, karena aku hanya mengizinkan Azam untuk performance satu kali dalam sehari, tidak sebebas dulu.

Manager nya pun mengerti, sebab aku sudah menjelaskan kondisi kesehatan Azam. Saat kami hendak berdiri di berpamitan pulang, ada salah seorang rekan musisi Azam yang menghampiri kami dan menyalami nya.

"Hey bro, lama tak bersua. Macam mana? seronok kawin?" tanya lelaki berambut cepak itu sembari memeluk Azam akrab.

Azam hanya tertawa membalas pelukan temannya itu sambil melirik ke arah ku. Aku tau sebentar lagi Azam akan memperkenalkan ku pada temannya itu, tapi begitu Azam hendak berkata-kata lelaki di hadapannya sudah lebih dulu bersuara.

"Apesal kurus sangat nampak? Tak di bagi makan kah sama bini kau tu?" tanya lelaki itu sambil berkelakar.

Tak di sadari nya seseorang yang dia sindir barusan berada tepat di belakangnya, di seberang Azam. Ku lihat Azam melirik ke arah ku untuk melihat reaksi ku mendengar ucapan lelaki itu.

Agak tersinggung rasanya, walaupun yang dia katakan tidak benar. Setiap hari aku selalu menyuguhkan makanan favorit Azam dengan menu yang beragam, namun usaha ku menutupi ringkih nya tubuh suamiku sia-sia, sebab penyakitnya membuat berat badan Azam kian menurun.

Aku berusaha memasang raut wajah setenang mungkin, tapi Azam terlalu peka. Dia menangkap ketersinggungan di mataku. Tatapan mata Azam membuat lelaki tadi mengikuti arah pandang nya, hingga mendapati kehadiran ku. Laki-laki terkejut. Seperti nya dia benar-benar tidak kehadiran ku disini.

Ku lihat dia gelagapan sendiri menatap diriku dan Azam secara bergantian. "Zam...."

"Kau jaga sikit mulut tu kalau cakap. Istri aku bagi aku makan spesial siang malam, tiap-tiap hari tau? Jangan nak sembarang kau cakap pasal dia," kecam Azam.

Tatapan suamiku begitu tajam menuding pada temannya sendiri, wajahnya bahkan sampai memerah menahan amarah.

Situasi menegangkan itu tertangkap oleh Jidan, dengan segera manager Azam itu membisikkan pada ku untuk membawa Azam segera keluar dari sini. Takut ledakan emosi pada dirinya akan membuat kacau acara yang telah usai, sehingga mengundang perhatian media.

"Zam... maaflah," ucap lelaki tadi.

"Tak payah nak minta maaf kat aku, minta maaf kat istriku!" ucap Azam sembari mengendikan dagu nya ke arah ku, kilatan amarah terpancar jelas di mata suami ku membuat ku merinding.

Laki-laki yang ku ketahui bernama Amar itu pun menoleh ke arah ku dengan raut bersalah. "Maafkan saya Encik-"

"Tak apa, saya tak marah. Saya tau awak gurau saja tadi," ucapku sambil tersenyum tipis.

"Tapi kami harus pulang sekarang, Permisi. " Ku tarik lengan Azam dan membawanya keluar, karena melihat emosi nya semakin meningkat.

Jidan menarik teman nya Azam tadi dan membawa pria itu menjauh dari ku dan Azam, sama-sama menghindari keributan.

Tanpa berkata apapun, aku membawa Azam pulang dengan perasaan serba salah. Aku ingin berucap, tapi tertahan mengingat raut marah suamiku tadi.

Ternyata Azam begitu mengerikan ketika marah, sebab aku tak pernah melihatnya marah sebelumnya. Dia tak pernah marah padaku atau siapapun. Kecuali pada orang tadi, yang terang-terangan merendahkan ku, sehingga menyinggung perasaan Azam.

Sesampainya di mobil. Dia duduk di kursi kemudi, sementara aku tetap di sisinya, tapi aku rasakan mobil kami tak bergerak, karena Azam sejak tadi diam tak bertindak apa-apa. Aku menoleh ke samping. Ku dapati Azam kini menatap ku dengan raut wajah teduh, seperti mengkhawatirkan perasaan ku.

"Zam."

"Jangan difikirkan, ya? Kita tau kan kalau yang dia bilang itu tidak benar? Kamu jangan sedih ya, sayang?" ucap Azam seraya meriah tangan kananku yang bebas.

Aku tersenyum tipis menanggapi nya. "Aku tak apa, Zam. Aku tidak akan memasukkan ucapan nya ke hati atau pikiran," kataku sembari tertawa membalas genggaman tangannya. "Justru kamu yang terlalu memikirkan dia dan terbawa perasaan. Padahal aku sendiri baik-baik saja."

Azam menghela nafas singkat sembari memejamkan mata beberapa detik, mungkin dia tengah mencoba menetralkan emosi yang tengah memasuki jiwa. Ku usap pelan pundaknya untuk menenangkan, tapi tak lama kemudian dia terbatuk beberapa kali.

Azam memang sering begitu, makanya aku selalu menyiapkan sebotol air putih kemanapun kami pergi untuk jaga-jaga. Aku menyodorkan air padanya dan dia terima, dengan segera Azam meneguk air itu. Setelah di rasa lega, baru dia memberikan botol itu lagi padaku.

"Aku saja yang menyetir, ya? Kamu duduk disini," tawarku karena tak yakin dengan kondisinya saat ini untuk menyetir mobil.

Azam menggeleng, memberi gestur penolakan. "Tak apa, aku masih bisa untuk sekedar menyetir mobil. Kamu duduk saja yang manis, ya?" ucapnya sembari memasangkan sabuk pengaman di tubuh ku.

Dia usap perlahan puncak kepala ku, lalu di kecupnya keningku lama. Azam kembali duduk tenang dan memasang sabuk pengaman untuk dirinya sendiri, baru dia mulai menjalankan mobil menuju arah pulang.

****

98's DIARY ASMARA {END} ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang