CHAPTER 16 : JANGAN AMBIL AZAM-KU

77 10 0
                                    

PLAYLIST:
MENTARI MUNCUL LAGI -SLAM

****

Rabu, 12 Desember 1998.

Seminggu sudah kami habiskan waktu di rumah sakit sebab Azam masih memerlukan perawatan intensif, maka dari itu kami tetap bertahan disini. Aku tak pernah pergi dari sisinya barang sekejap saja. Tak pernah aku biarkan suamiku sendiri karena aku tau, dia begitu membutuhkan ku dan tak ingin jauh dariku.

Ku abaikan segala hal duniawi termasuk pekerjaan ku yang mungkin akan menumpuk. Aku tak perduli. Toh, perusahaan itu tetap milik ayahku.  Dia pun tau bahwa aku tengah mengurus suamiku yang tengah sakit saat ini.

Azam jelas lebih penting daripada hal apapun, apalagi yang berbau duniawi. Setiap hari, setiap jam, setiap detik aku habiskan untuk mengurus suami ku. Dia tidak begitu merepotkan hanya saja, saat sakit seperti ini perangainya jauh lebih manja dari biasanya.

Tak pernah dia lepaskan tautan tangan kami barang sedetik saja, bahkan saat tidur pun dia masih menggenggam tangan ku. Begitu manisnya Azam-ku ini. Berhari-hari disini kami isi dengan cerita tentang banyak hal dan senda gurau ringan. Sehingga dia sudah bisa tertawa dan tersenyum seperti biasa.

Iya, Azam-ku memang suka tersenyum, tapi aku sadar dari hari ke hari senyum nya kian berbeda. Tak ada seri lagi di wajah nya. Meskipun wajah itu tetap sedap di pandang mata, namun pucat menghiasi rona wajah suamiku. Memantik risau di ulu jiwa.

Di hari ini langit biru ku seolah sirna, berganti dengan langit kelabu yang gelap gulita. Seperti mentari sedang bersembunyi di balik awan hitam, menurunkan badai hujan yang menghantam semesta beserta isinya.

Saat aku tengah menyuapi Azam sarapan, tiba-tiba suami ku tersedak kencang. Buru-buru aku sodorkan segelas air, tapi tak sempat. Dia sudah menyembur kan darah dari mulut nya hingga mengenai selimut putih yang dia pakai.

Ku lihat Azam menekan dadanya sembari menarik nafas panjang, namun dia kesulitan. Segera aku bangkit dan berlari kalang kabut mencari dokter dan suster. Berharap mereka bisa menyelamatkan suami ku.

Dokter dan suster pun datang dan aku di minta menunggu di luar, sementara mereka menangani Azam didalam. Dengan kekalutan luar biasa, aku terduduk lemas di kursi panjang depan ruangan sembari menutup wajah ku yang berbasuh air mata.

Ku dengar suara langkah kaki tak beraturan berlari di koridor rumah sakit menuju kemari. Saat aku menoleh, ku dapati kedua orang tuaku datang dengan tergesa-gesa menghampiri ku.

"Bunda...." Aku menangis meraung di hadapan bundaku lalu segera masuk ke dalam pelukannya.

Bunda dengan tenang memeluk diriku yang menangis sesenggukan, sembari membisikkan kalimat menenangkan. Ayah berdiri di depan ruangan, sesekali menoleh ke arah pintu demi melihat keadaan suamiku di dalam.

"Bunda.... Azam Bun," aduku dengan tangisan pilu.

"Iya, Nak. Kuat ya, sayang? Kalau kamu kuat, bunda yakin Azam juga pasti kuat," ujar bunda sembari mengusap punggung ku yang bergetar.

"Azam gak akan kemana-mana kan, Bun? Dia gak akan ninggalin Mara kan, Bunda?" lirihku sambil meraung.

"Berdoa ya, Nak? Kita sama-sama berdoa demi kebaikan Azam," kata bunda pula.

Sekitar lima belas menit lebih kami menunggu kabar di luar. Aku terus menangis dalam pelukan bunda. Mengelukan nama suami ku, serta memanjatkan doa pada tuhan untuk menahan Azam agar tetap di sisiku.

98's DIARY ASMARA {END} ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang