3. BEHIND HIS EYES

29 5 83
                                    

Saat itu Madha baru menginjak usia enam belas tahun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Saat itu Madha baru menginjak usia enam belas tahun. Tepat sebelum masuk ke sekolah menengah atas, ia memutuskan untuk membawa motor sendiri. Ia tidak mau merepotkan sang papa karena arah kantor dan sekolah baru Madha berbeda, dan cukup jauh.

Ini hari pertamanya belajar membawa motor, mengakibatkan cara menyetirnya Madha pun kurang baik. Bahkan ia sempat menabrak tempat sampah di depan rumah warga. Mengharuskan ia berhenti sejenak untuk membereskan kembali sampah anorganik itu.

Namun, Madha tidak menyerah. Pemuda berwajah tegas itu bangkit kembali dengan motor barunya.

Ketika merasa jalanan sepi dan mulai merasa nyaman dengan posisinya, Madha menarik gas motornya sehingga melaju lebih kencang. Namun, di pertengahan jalan muncul seorang gadis kecil yang tiba-tiba berlari melintas, tanpa memeriksa kondisi jalan lebih dulu. Laju motor Madha tak dapat terkontrol, tangannya pun terlambat menarik rem. Alhasil gadis tersebut tertabrak motor Madha dengan cukup kencang. Tentu saja syok. Debaran jantungnya begitu cepat. Meski begitu, Madha buru-buru memeriksa keadaan korbannya tanpa peduli dengan motor barunya yang lecet dan kini tergeletak di aspal.

Betul, gadis kecil yang ditabraknya tersebut adalah Hana.

"Dek! M-maafin, Kakak ...." Kalimat pertama yang diucapkannya adalah ucapan maaf yang tulus. Madha memeriksa deru napas Hana menggunakan tangannya yang gemetar. Berkali-kali ia memanggil anak kecil yang terluka tersebut sembari netranya mengamati dari atas hingga bawah. Hana masih kuat membuka matanya meski hanya sedikit.

"Kakak kenapa nangis?" Hana bertanya seraya menyentuh lengan Madha dengan tangan miliknya yang terasa dingin.

Seseorang yang dipanggilnya kakak tersebut merapatkan bibirnya. Hatinya terasa pilu, rasa bersalah yang teramat besar memukuli Madha saat itu. Darah yang mengalir dari bagian tubuh Hana membuat gurat wajah khawatir Madha semakin jelas. Tangan kirinya ia gunakan untuk menyangga kepala Hana, sementara satunya ia gunakan untuk menelpon rumah sakit terdekat.

"Hanaaa!"

Berselang beberapa detik saja, terdengarlah teriakan seseorang dari balik pohon kecil di pinggiran jalan. Menampakkan wajah tak kalah paniknya dari Madha. Pemuda yang sebaya dengan Madha tersebut berlari dengan bulir peluh berjatuhan di pelipisnya.

"Berengsek! Lo apain Adik gue?" teriaknya. Emosinya bercampur aduk, hal itu dapat dilihat dari manik cokelatnya. Lalu ia langsung menyingkirkan Madha dari sisi adiknya dengan kasar. "Minggir lo!" Tangannya sigap meraih kepala sang adik dan memeluknya.

Segera Rain mengecek sistem pernapasan Hana. Ia mendekatkan kepalanya ke hidung Hana. Sedikit, hanya terdengar samar-samar. Tidak sampai semenit setelah Rain datang, gadis kecil tersebut kehilangan kesadarannya.

"Hana ... lihat Kakak. Hana! Tolong, jawab Kakak!"

***

"Apa? Maafin dia? Bu, gimana caranya Rain bisa maafin orang yang udah bikin kaki Hana kayak gitu?" sanggah Rain dengan amarah yang menggebu.

BAD LIAR (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang